TUJUH TABIR
Minggu, 15 September 2013
Senin, 09 September 2013
Abuya K.H. Saifuddin Amsir : Di Balik Senandung Maulid
Yang jadi tujuan utamanya tetap maknanya. Senandung hanyalah bagian sekunder yang menyebabkan bacaan itu jadi terasa lebih bermakna.
Umat menyambut datangnya bulan Maulid, yang penuh suka cita, dengan perayaan Maulid Nabi SAW di sana-sini. Dalam majelis Maulid yang mereka gelar, dibacakanlah kitab-kitab Maulid dengan suara-suara nan syahdu dan senandung yang acap menggetarkan hati.
Ada apa di balik senandung kitab-kitab Maulid itu, yang oleh sementara pihak justru dipandang salah, khususnya terkait dengan status keshahihan berita-berita yang dibawa dalam senandung-senandung Maulid tersebut?
Abuya K.H. Saifuddin Amsir, salah seorang ulama kebanggaan kota Jakarta saat ini, salah seorang rais syuriyah NU, sekaligus pengasuh rubrik Kitab Kuning di majalah kesayangan kita ini, berkenan untuk menyampaikan paparannya terkait hal tersebut. Berikut sebagian yang disampaikannya kepada para pembaca setia alKisah.
Makna sebagai Tujuan
Sesungguhnya masalah senandung hanyalah bagian yang diposisikan urgensinya pada daerah psikologis. Jadi kalau bacaan itu yang sudah disusun begitu baik, sangat puitis, dan kaidah-kaidah yang berlaku dalam puisi, yang disebut nazham, kan menjadi datar bila tidak disenandungkan? Jadi, yang jadi tujuan utamanya tetap maknanya. Senandung hanyalah bagian sekunder yang menyebabkan bacaan itu jadi terasa lebih bermakna, agar penyampaiannya diharapkan lebih mengena atau lebih terasa. Dalam banyak hal, senandung pada bacaan-bacaan tertentu, yang memiliki semacam dorongan yang lebih dari bacaan yang tidak bersenandung, bagi kaum sufi atau bahkan sebagian dari mereka yang tidak terlalu memiliki dasar dalam wawasan kesufian, nyatanya memang amat mempengaruhi orang, misalnya karena gaya-gaya bersenandung seperti yang ada di tengah-tengah masyarakat kita.
Ini bukan cerita yang tidak pernah terjadi. Kalau di kalangan tertentu, misalnya sebagaimana yang saya dapat dari Habib Abdullah bin Husein Al-Attas Asy-Syami, di masanya, yaitu di masa beliau masih muda, di kala masyayikh (para tuan guru) berkumpul, bahkan dengan cara yang biasa saja sebagaimana cara di kalangan Hadhrami (orang-orang Hadhramaut), ternyata cukup membuat beberapa orang yang hadir di sana sampai pingsan, karena bait-bait yang sedang dibacakan. Di kalangan mereka, dengan gaya yang datar saja sudah banyak yang sampai kehilangan kesadaran, tenggelam dalam makna-makna kalimat yang tengah disenandungkan.
Saya juga pernah melihat pemandangan serupa saat di Suriah, ketika dalam sebuah majelis dibacakan qashidah-qashidah. Setelah beberapa bait dibaca, ada orang yang sampai melompat ke tengah-tengah dan berputar. Apa yang dilakukan oleh orang itu bukan sesuatu yang sama dengan apa yang dilakukan pada tarian-tarian tertentu yang terkadang lebih mengarah pada aspek hiburan religius. Ini lebih tepat dikatakan semacam ekstase. Saat itu, sampai-sampai tangan orang tersebut ditarik oleh syaikh dalam majelis itu, untuk menyadarkan ketidaksadaran orang tersebut. Jadi, mereka tenggelam dalam makna-makna yang diungkap pada kalimat-kalimat yang disenandungkan.
Disemarakkan oleh Muhadditsin
Bila ada keraguan terhadap berita-berita yang ada pada sementara isi kitab Maulid, itu memang sesuatu yang tidak bisa dihindari. Tapi yang perlu diingat, berita-berita itu juga diceritakan oleh banyak ulama. Hemat saya, keraguan terhadap hal-hal itu mungkin awalnya terinspirasi oleh adanya kitab-kitab Maulid yang dianggap oleh sebagian ahli hadits lebih banyak memuat cerita yang dibuat-buat, atau kalau dalam ilmu hadits masuk dalam kategori al-maudhu’at (hadits-hadits palsu).
Namun demikian, bukan sedikit dari yang dituduh al-maudhu’at itu ternyata menjadi penunjang yang tidak sederhana untuk keperluan yang lebih penting dari sekadar gambaran berita-berita itu sendiri. Gambaran-gambaran itu pun belum tentu mustahil. Sebagian berita itu mungkin diceritakan dengan sanad yang dipertanyakan, tapi menyatakan gambaran-gambaran itu sebagai sesuatu yang pasti mustahil adalah sebuah kesalahan. Ingat, menyatakan itu sebagai suatu hal yang mustahil juga merupakan klaim, dan itu perlu pembuktian. Bahwa secara sanad itu disebut maudhu’, ya bisa saja.
Sebagai contoh pada kisah Asy-syaffa, ibunda sahabat Abdurrahman bin Auf, yang merasa gusar luar biasa terhadap anaknya itu karena sangat si anak (sebelum masuk Islam) terlihat memusuhi Rasulullah. Sang ibu marah-marah karena merasa si anak sebenarnya tidak tahu apa-apa terhadap pribadi Rasulullah SAW. ”Saya yang membidani kelahiran Muhammad. Sayalah yang menjadi bidannya. Saat itu, saya sampai tidak kuat melihat cahaya yang terlalu banyak yang memenuhi ruang dan melihat bintang-bintang yang datang mendekat.” Ini kan gambaran yang sangat spektakuler hingga dalam pandangannya ia melihat adanya bintang-bintang yang mendekat di sekitar lokasi kelahiran Rasulullah SAW.
Sekarang kita melihat, misalnya di Sunda Kelapa ada imam masjid yang berasal dari Madinah, Syaikh Ali Jabir, yang dalam lingkungan masyarakatnya di sana mungkin konotasinya dekat ke Wahabi. Ternyata ia pun ikut menuliskan gambaran ketika Rasulullah SAW terlahir dalam keadaan bersujud. Sejak dulu, banyak yang seperti ini, yaitu ketika seseorang pun tak kuasa menolak berita-berita yang disampaikan oleh begitu banyak ulama dari zaman ke zaman.
Tapi kemudian, memang harus diseimbangkan antara yang shahih dan yang berlebihan. Yang berlebihan itu pun mesti melihat bahwa semua ini dilakukan tidak berlatar tendensi sedikit pun untuk sebuah kedustaan.
Tak aneh bila Syaikh Nawawi Al-Bantani sampai memerlukan diri untuk menuliskan syarah kitab Maulid Al-Barzanji berjudul Madarij ash-Shu’ud ila Iktisa’ al-Burud. Orang tahu, di dalam Al-Barzanji terdapat gambaran-gambaran luar biasa yang mungkin dipertanyakan sekarang, tapi betapapun Al-Barzanji sendiri notabene seorang muhaddits.
Lihat pula Ad-Diba’i, yang juga dikenal sebagai ulama ahli hadits unggulan. Bahkan ia mempunyai kitab yang mengoreksi hadits-hadits dha’if, Tamyiz ath-Thayyib min al-Khabits fima Yaduru ’ala Alsinah an-Nas min al-Hadits.
Tampak dalam karyanya itu ia seorang yang spesialis dalam ilmu hadits. Dalam kajian hadits, ia mengkhatamkan kitab hadits Shahih Al-Bukhari sampai 200 kali. Ini sebuah catatan yang menunjukkan betapa ia seorang yang sangat spesialis di bidang ini.
Tapi, tak urung, di dalam kitabnya terdapat hadits-hadits yang menjadi pertanyaan dan terus disorot oleh sebagian pihak. Itu sebabnya tadi saya katakan, tokoh semacam Syaikh Ali Jabir, yang karena lahir dan besar di Arab Saudi, sebagai negeri kaum Wahabi, boleh jadi mestinya ia berada pada pihak yang menolak berita-berita yang dianggap berlebihan dalam kelahiran Rasulullah SAW, ternyata tidak demikian. Syaikh Ali Jabir ikut membawakan riwayat ketika Rasulullah SAW terlahir dalam keadaan bersujud.
Kasus Al-Albani
Yang perlu diperhatikan di sini, berita-berita semacam itu sesungguhnya tidak sepi begitu saja dari riwayat-riwayat yang melatarbelakanginya. Boleh saja sementara orang mengkritisinya, tapi selayaknya hanya sampai pada batas melemahkan. Kalau sampai pada batas meniadakan, itu perlu pembuktian lagi. Bukti tidak adanya itu apa?
Oleh sebab itu ahli-ahli hadits yang tidak terlalu ketat dalam periwayatannya terhadap berita-berita saat kelahiran Rasulullah SAW tetap meriwayatkannya saat mengisahkan kelahiran Rasulullah SAW. Karena itu, walaupun pada isu-isu tersebut mereka sebutkan lemah periwayatannya, itu tidak sampai pada tingkat kemustahilan.
Dengan berputarnya roda zaman, ada semacam kemajuan tingkat berpikir di tengah masyarakat. Sayangnya, kemajuan itu tidak mendudukkan arti kemajuan itu pada posisinya yang benar. Orang selalu dituntut secara aqidah formal, pada hal-hal yang sebenarnya hanya bisa diberlakukan dalam konteks hukum atau aqidah, bukan pada riwayat semacam ini. Karena yang semacam ini tidak didudukkan sebagai suatu hukum atau aqidah.
Ulama pun sepakat bahwa hal-hal ini tidak dijadikan sebagai hukum dan tidak masuk dalam wilayah aqidah, yang seseorang wajib mempercayainya, atau seseorang yang tidak mempercayainya telah kufur. Tidak demikian ulama memandangnya. Jadi memang tidak perlu dituntut sejauh itu, misalnya tentang sanadnya, keshahihannya, dan sebagainya.
Kalau dituntut seperti itu, jangan-jangan orang-orang itu sendiri yang justru kurang memiliki bekal memadai sebelum menyatakan tuntutannya itu. Perhatikan saja, sekarang ini banyak ”ahli hadits” yang secara serampangan berani mengoreksi hadits Al-Bukhari sebagai sesuatu yang menurutnya boleh jadi menanggung ketidakshahihan. Kata-kata ”boleh jadi” itu harus disebut, jangan diklaim ”ini adalah tidak shahih”. Sebab dalam hadits, jalur-jalur sanad sedemikian banyaknya, bagaikan samudera yang tak bertepi.
Makanya, orang semacam Al-Albani, yang gemar menjustifikasi hadits ini lemah, hadits itu palsu, dan sebagainya, ia pun kemudian menjadi orang yang sangat kelimpungan dengan dunia yang ingin ia geluti itu. Dalam kitab-kitabnya sendiri keterangan yang bersumber darinya bertabrakan di sana-sini. Satu saat ia menilai suatu hadits itu shahih, pada saat yang lain ia mengatakan itu dhaif, atau sebaliknya. Dan ini bukan di satu-dua tempat, bahkan mencapai jumlah ribuan, seperti yang direkam oleh seorang ulama Suriah, Sayyid Hasan bin Ali Assegaf, dalam kitabnya, Tanaqudhat Al-Albani, yang secara khusus memaparkan bukti-bukti tertulis dari kitab-kitab Al-Albani sendiri yang menunjukkan inkonsistensi Al-Albani dalam menilai hadits. Ini yang menyebabkan sering kali para ahli hadits menantang Al-Albani untuk berdebat secara terbuka dalam ilmu hadits, sesuatu yang semua orang tahu bahwa Al-Albani tidak pernah mau melayaninya.
Tidak aneh kalau, misalnya, buku-buku karya murid-murid Syaikh Abdullah Al-Harari tidak pernah mau menyebut Al-Albani sebagai ”al-muhaddits”. Mereka menyebutnya ”as-sa’ati” (tukang reparasi jam tangan), karena memang itulah profesi Al-Albani yang sesungguhnya. Mungkin ini juga semacam luapan ekspresi para penggiat dalam dunia ilmu hadits terhadap sikap over Al-Albani saat mengkritisi hadits, dengan kesiapan perangkat keilmuan yang amat jauh dari standar pada lazimnya yang ada di kalangan ulama ahli hadits.
Kekuasaan Allah Semata
Terlalu banyak orang yang menjadi pongah ketika baru saja mendengar istilah shahih, hasan, dhaif, maudhu’. Dia sendiri sebenarnya baru pernah mendengar istilah itu. Kemudian orang-orang semacam ini tampak lebih muncul di permukaan, dan mudah mempertanyakan, ”Itu shahih nggak, itu dha’if nggak?” Mereka menjadi komunitas yang bahkan menjadi lebih galak (baca: gencar menyerang) dari era sebelumnya. Padahal, setelah itu mereka pun kehabisan bekal untuk mendalami hal-hal pelik dalam ilmu hadits. Di Masjid Sunda Kelapa, pada kepemimpinan Bapak Saiful Hamid, saya melihat orang-orang yang rata-rata sebelumnya galak dengan perhelatan Maulid di sana-sini tiba-tiba berbalik menjadi ikut serta dan merasakan kenikmatan membaca kitab Maulid sesudah beliau yang memimpin itu dan membeli kitab Maulid yang sudah diterjemahkan. Jadi, setelah mendapat wawasan tentang makna-makna yang tertulis dalam buku itu, mereka menjadi kehilangan rasa untuk mempersoalkan ihwal haditsnya, karena hati mereka akhirnya mengiyakan makna yang ingin dituju dari kitab-kitab Maulid itu.
Kalau dikatakan Nabi lahir dalam keadaan bersujud, kenapa ini jadi pertanyaan besar, padahal banyak bayi yang lahir dalam keadaan sungsang. Kalau ada yang mengisahkan bahwa Rasulullah SAW tidak terlahir lewat rahim, karena itu merupakan makhraj al-baul (tempat keluarnya air seni), sekarang pun itu bukan persoalan, sebab berapa banyak bayi saat ini yang tak terlahir dari rahim karena operasi caesar. Kalau ada yang menolak berita ini, apakah ada yang bisa membuktikan bahwa beliau dilahirkan memang benar-benar keluarnya dari rahim?
Ternyata, untuk dunia medis zaman sekarang, hal itu pun bukan lagi sesuatu yang aneh. Sekarang apanya yang aneh, bahkan sudah cukup lama dunia medis pun dapat memecahkan batu-batu di dalam ginjal hanya dengan cahaya sinar tertentu yang disorot dari luar tubuh seseorang. Cahaya sinar itu memiliki ukuran-ukuran tertentu dan disorot dari jarak tertentu, yang semuanya itu diatur oleh tangan manusia. Bagaimana bisa divonis mustahil bila keistimewaan yang ada dalam berita-berita kelahiran Rasulullah SAW itu tak terlepas dari campur tangan para malaikat Allah SWT?
Kegaduhan pemikiran yang beredar di kalangan ulama sekarang harus diperhatikan bahwa ini tidak tepat untuk dianggap sebagai tema-tema kebohongan dalam penggunaan dalil-dalil syari’at, tetapi bahkan bisa berbalik justru menjadi kamuflase atau pemalsuan yang berdampak bahwa suatu ketika Islam bisa menjadi kehilangan identitasnya, karena meminggirkan begitu saja pemikiran para ulama sejak dulu hingga sekarang.
Alhamdulillah, di Jakarta, mungkin karena semakin banyak tekanan yang datang dari berbagai arah atau gencarnya propaganda lewat berbagai media yang memandang dengan penuh ketidaksukaan terhadap perhelatan-perhelatan Maulid, anak-anak muda Jakarta yang sadar atas hal ini mencoba semakin ingin menyemarakkan Maulid. Bahkan peralatan sampingannya (hadhrah, marawis, dan lain-lain) menjadi lebih lengkap dari yang dulu-dulu. IY
Sumber : Majalah Al Kisah
Umat menyambut datangnya bulan Maulid, yang penuh suka cita, dengan perayaan Maulid Nabi SAW di sana-sini. Dalam majelis Maulid yang mereka gelar, dibacakanlah kitab-kitab Maulid dengan suara-suara nan syahdu dan senandung yang acap menggetarkan hati.
Ada apa di balik senandung kitab-kitab Maulid itu, yang oleh sementara pihak justru dipandang salah, khususnya terkait dengan status keshahihan berita-berita yang dibawa dalam senandung-senandung Maulid tersebut?
Abuya K.H. Saifuddin Amsir, salah seorang ulama kebanggaan kota Jakarta saat ini, salah seorang rais syuriyah NU, sekaligus pengasuh rubrik Kitab Kuning di majalah kesayangan kita ini, berkenan untuk menyampaikan paparannya terkait hal tersebut. Berikut sebagian yang disampaikannya kepada para pembaca setia alKisah.
Makna sebagai Tujuan
Sesungguhnya masalah senandung hanyalah bagian yang diposisikan urgensinya pada daerah psikologis. Jadi kalau bacaan itu yang sudah disusun begitu baik, sangat puitis, dan kaidah-kaidah yang berlaku dalam puisi, yang disebut nazham, kan menjadi datar bila tidak disenandungkan? Jadi, yang jadi tujuan utamanya tetap maknanya. Senandung hanyalah bagian sekunder yang menyebabkan bacaan itu jadi terasa lebih bermakna, agar penyampaiannya diharapkan lebih mengena atau lebih terasa. Dalam banyak hal, senandung pada bacaan-bacaan tertentu, yang memiliki semacam dorongan yang lebih dari bacaan yang tidak bersenandung, bagi kaum sufi atau bahkan sebagian dari mereka yang tidak terlalu memiliki dasar dalam wawasan kesufian, nyatanya memang amat mempengaruhi orang, misalnya karena gaya-gaya bersenandung seperti yang ada di tengah-tengah masyarakat kita.
Ini bukan cerita yang tidak pernah terjadi. Kalau di kalangan tertentu, misalnya sebagaimana yang saya dapat dari Habib Abdullah bin Husein Al-Attas Asy-Syami, di masanya, yaitu di masa beliau masih muda, di kala masyayikh (para tuan guru) berkumpul, bahkan dengan cara yang biasa saja sebagaimana cara di kalangan Hadhrami (orang-orang Hadhramaut), ternyata cukup membuat beberapa orang yang hadir di sana sampai pingsan, karena bait-bait yang sedang dibacakan. Di kalangan mereka, dengan gaya yang datar saja sudah banyak yang sampai kehilangan kesadaran, tenggelam dalam makna-makna kalimat yang tengah disenandungkan.
Saya juga pernah melihat pemandangan serupa saat di Suriah, ketika dalam sebuah majelis dibacakan qashidah-qashidah. Setelah beberapa bait dibaca, ada orang yang sampai melompat ke tengah-tengah dan berputar. Apa yang dilakukan oleh orang itu bukan sesuatu yang sama dengan apa yang dilakukan pada tarian-tarian tertentu yang terkadang lebih mengarah pada aspek hiburan religius. Ini lebih tepat dikatakan semacam ekstase. Saat itu, sampai-sampai tangan orang tersebut ditarik oleh syaikh dalam majelis itu, untuk menyadarkan ketidaksadaran orang tersebut. Jadi, mereka tenggelam dalam makna-makna yang diungkap pada kalimat-kalimat yang disenandungkan.
Disemarakkan oleh Muhadditsin
Bila ada keraguan terhadap berita-berita yang ada pada sementara isi kitab Maulid, itu memang sesuatu yang tidak bisa dihindari. Tapi yang perlu diingat, berita-berita itu juga diceritakan oleh banyak ulama. Hemat saya, keraguan terhadap hal-hal itu mungkin awalnya terinspirasi oleh adanya kitab-kitab Maulid yang dianggap oleh sebagian ahli hadits lebih banyak memuat cerita yang dibuat-buat, atau kalau dalam ilmu hadits masuk dalam kategori al-maudhu’at (hadits-hadits palsu).
Namun demikian, bukan sedikit dari yang dituduh al-maudhu’at itu ternyata menjadi penunjang yang tidak sederhana untuk keperluan yang lebih penting dari sekadar gambaran berita-berita itu sendiri. Gambaran-gambaran itu pun belum tentu mustahil. Sebagian berita itu mungkin diceritakan dengan sanad yang dipertanyakan, tapi menyatakan gambaran-gambaran itu sebagai sesuatu yang pasti mustahil adalah sebuah kesalahan. Ingat, menyatakan itu sebagai suatu hal yang mustahil juga merupakan klaim, dan itu perlu pembuktian. Bahwa secara sanad itu disebut maudhu’, ya bisa saja.
Sebagai contoh pada kisah Asy-syaffa, ibunda sahabat Abdurrahman bin Auf, yang merasa gusar luar biasa terhadap anaknya itu karena sangat si anak (sebelum masuk Islam) terlihat memusuhi Rasulullah. Sang ibu marah-marah karena merasa si anak sebenarnya tidak tahu apa-apa terhadap pribadi Rasulullah SAW. ”Saya yang membidani kelahiran Muhammad. Sayalah yang menjadi bidannya. Saat itu, saya sampai tidak kuat melihat cahaya yang terlalu banyak yang memenuhi ruang dan melihat bintang-bintang yang datang mendekat.” Ini kan gambaran yang sangat spektakuler hingga dalam pandangannya ia melihat adanya bintang-bintang yang mendekat di sekitar lokasi kelahiran Rasulullah SAW.
Sekarang kita melihat, misalnya di Sunda Kelapa ada imam masjid yang berasal dari Madinah, Syaikh Ali Jabir, yang dalam lingkungan masyarakatnya di sana mungkin konotasinya dekat ke Wahabi. Ternyata ia pun ikut menuliskan gambaran ketika Rasulullah SAW terlahir dalam keadaan bersujud. Sejak dulu, banyak yang seperti ini, yaitu ketika seseorang pun tak kuasa menolak berita-berita yang disampaikan oleh begitu banyak ulama dari zaman ke zaman.
Tapi kemudian, memang harus diseimbangkan antara yang shahih dan yang berlebihan. Yang berlebihan itu pun mesti melihat bahwa semua ini dilakukan tidak berlatar tendensi sedikit pun untuk sebuah kedustaan.
Tak aneh bila Syaikh Nawawi Al-Bantani sampai memerlukan diri untuk menuliskan syarah kitab Maulid Al-Barzanji berjudul Madarij ash-Shu’ud ila Iktisa’ al-Burud. Orang tahu, di dalam Al-Barzanji terdapat gambaran-gambaran luar biasa yang mungkin dipertanyakan sekarang, tapi betapapun Al-Barzanji sendiri notabene seorang muhaddits.
Lihat pula Ad-Diba’i, yang juga dikenal sebagai ulama ahli hadits unggulan. Bahkan ia mempunyai kitab yang mengoreksi hadits-hadits dha’if, Tamyiz ath-Thayyib min al-Khabits fima Yaduru ’ala Alsinah an-Nas min al-Hadits.
Tampak dalam karyanya itu ia seorang yang spesialis dalam ilmu hadits. Dalam kajian hadits, ia mengkhatamkan kitab hadits Shahih Al-Bukhari sampai 200 kali. Ini sebuah catatan yang menunjukkan betapa ia seorang yang sangat spesialis di bidang ini.
Tapi, tak urung, di dalam kitabnya terdapat hadits-hadits yang menjadi pertanyaan dan terus disorot oleh sebagian pihak. Itu sebabnya tadi saya katakan, tokoh semacam Syaikh Ali Jabir, yang karena lahir dan besar di Arab Saudi, sebagai negeri kaum Wahabi, boleh jadi mestinya ia berada pada pihak yang menolak berita-berita yang dianggap berlebihan dalam kelahiran Rasulullah SAW, ternyata tidak demikian. Syaikh Ali Jabir ikut membawakan riwayat ketika Rasulullah SAW terlahir dalam keadaan bersujud.
Kasus Al-Albani
Yang perlu diperhatikan di sini, berita-berita semacam itu sesungguhnya tidak sepi begitu saja dari riwayat-riwayat yang melatarbelakanginya. Boleh saja sementara orang mengkritisinya, tapi selayaknya hanya sampai pada batas melemahkan. Kalau sampai pada batas meniadakan, itu perlu pembuktian lagi. Bukti tidak adanya itu apa?
Oleh sebab itu ahli-ahli hadits yang tidak terlalu ketat dalam periwayatannya terhadap berita-berita saat kelahiran Rasulullah SAW tetap meriwayatkannya saat mengisahkan kelahiran Rasulullah SAW. Karena itu, walaupun pada isu-isu tersebut mereka sebutkan lemah periwayatannya, itu tidak sampai pada tingkat kemustahilan.
Dengan berputarnya roda zaman, ada semacam kemajuan tingkat berpikir di tengah masyarakat. Sayangnya, kemajuan itu tidak mendudukkan arti kemajuan itu pada posisinya yang benar. Orang selalu dituntut secara aqidah formal, pada hal-hal yang sebenarnya hanya bisa diberlakukan dalam konteks hukum atau aqidah, bukan pada riwayat semacam ini. Karena yang semacam ini tidak didudukkan sebagai suatu hukum atau aqidah.
Ulama pun sepakat bahwa hal-hal ini tidak dijadikan sebagai hukum dan tidak masuk dalam wilayah aqidah, yang seseorang wajib mempercayainya, atau seseorang yang tidak mempercayainya telah kufur. Tidak demikian ulama memandangnya. Jadi memang tidak perlu dituntut sejauh itu, misalnya tentang sanadnya, keshahihannya, dan sebagainya.
Kalau dituntut seperti itu, jangan-jangan orang-orang itu sendiri yang justru kurang memiliki bekal memadai sebelum menyatakan tuntutannya itu. Perhatikan saja, sekarang ini banyak ”ahli hadits” yang secara serampangan berani mengoreksi hadits Al-Bukhari sebagai sesuatu yang menurutnya boleh jadi menanggung ketidakshahihan. Kata-kata ”boleh jadi” itu harus disebut, jangan diklaim ”ini adalah tidak shahih”. Sebab dalam hadits, jalur-jalur sanad sedemikian banyaknya, bagaikan samudera yang tak bertepi.
Makanya, orang semacam Al-Albani, yang gemar menjustifikasi hadits ini lemah, hadits itu palsu, dan sebagainya, ia pun kemudian menjadi orang yang sangat kelimpungan dengan dunia yang ingin ia geluti itu. Dalam kitab-kitabnya sendiri keterangan yang bersumber darinya bertabrakan di sana-sini. Satu saat ia menilai suatu hadits itu shahih, pada saat yang lain ia mengatakan itu dhaif, atau sebaliknya. Dan ini bukan di satu-dua tempat, bahkan mencapai jumlah ribuan, seperti yang direkam oleh seorang ulama Suriah, Sayyid Hasan bin Ali Assegaf, dalam kitabnya, Tanaqudhat Al-Albani, yang secara khusus memaparkan bukti-bukti tertulis dari kitab-kitab Al-Albani sendiri yang menunjukkan inkonsistensi Al-Albani dalam menilai hadits. Ini yang menyebabkan sering kali para ahli hadits menantang Al-Albani untuk berdebat secara terbuka dalam ilmu hadits, sesuatu yang semua orang tahu bahwa Al-Albani tidak pernah mau melayaninya.
Tidak aneh kalau, misalnya, buku-buku karya murid-murid Syaikh Abdullah Al-Harari tidak pernah mau menyebut Al-Albani sebagai ”al-muhaddits”. Mereka menyebutnya ”as-sa’ati” (tukang reparasi jam tangan), karena memang itulah profesi Al-Albani yang sesungguhnya. Mungkin ini juga semacam luapan ekspresi para penggiat dalam dunia ilmu hadits terhadap sikap over Al-Albani saat mengkritisi hadits, dengan kesiapan perangkat keilmuan yang amat jauh dari standar pada lazimnya yang ada di kalangan ulama ahli hadits.
Kekuasaan Allah Semata
Terlalu banyak orang yang menjadi pongah ketika baru saja mendengar istilah shahih, hasan, dhaif, maudhu’. Dia sendiri sebenarnya baru pernah mendengar istilah itu. Kemudian orang-orang semacam ini tampak lebih muncul di permukaan, dan mudah mempertanyakan, ”Itu shahih nggak, itu dha’if nggak?” Mereka menjadi komunitas yang bahkan menjadi lebih galak (baca: gencar menyerang) dari era sebelumnya. Padahal, setelah itu mereka pun kehabisan bekal untuk mendalami hal-hal pelik dalam ilmu hadits. Di Masjid Sunda Kelapa, pada kepemimpinan Bapak Saiful Hamid, saya melihat orang-orang yang rata-rata sebelumnya galak dengan perhelatan Maulid di sana-sini tiba-tiba berbalik menjadi ikut serta dan merasakan kenikmatan membaca kitab Maulid sesudah beliau yang memimpin itu dan membeli kitab Maulid yang sudah diterjemahkan. Jadi, setelah mendapat wawasan tentang makna-makna yang tertulis dalam buku itu, mereka menjadi kehilangan rasa untuk mempersoalkan ihwal haditsnya, karena hati mereka akhirnya mengiyakan makna yang ingin dituju dari kitab-kitab Maulid itu.
Kalau dikatakan Nabi lahir dalam keadaan bersujud, kenapa ini jadi pertanyaan besar, padahal banyak bayi yang lahir dalam keadaan sungsang. Kalau ada yang mengisahkan bahwa Rasulullah SAW tidak terlahir lewat rahim, karena itu merupakan makhraj al-baul (tempat keluarnya air seni), sekarang pun itu bukan persoalan, sebab berapa banyak bayi saat ini yang tak terlahir dari rahim karena operasi caesar. Kalau ada yang menolak berita ini, apakah ada yang bisa membuktikan bahwa beliau dilahirkan memang benar-benar keluarnya dari rahim?
Ternyata, untuk dunia medis zaman sekarang, hal itu pun bukan lagi sesuatu yang aneh. Sekarang apanya yang aneh, bahkan sudah cukup lama dunia medis pun dapat memecahkan batu-batu di dalam ginjal hanya dengan cahaya sinar tertentu yang disorot dari luar tubuh seseorang. Cahaya sinar itu memiliki ukuran-ukuran tertentu dan disorot dari jarak tertentu, yang semuanya itu diatur oleh tangan manusia. Bagaimana bisa divonis mustahil bila keistimewaan yang ada dalam berita-berita kelahiran Rasulullah SAW itu tak terlepas dari campur tangan para malaikat Allah SWT?
Kegaduhan pemikiran yang beredar di kalangan ulama sekarang harus diperhatikan bahwa ini tidak tepat untuk dianggap sebagai tema-tema kebohongan dalam penggunaan dalil-dalil syari’at, tetapi bahkan bisa berbalik justru menjadi kamuflase atau pemalsuan yang berdampak bahwa suatu ketika Islam bisa menjadi kehilangan identitasnya, karena meminggirkan begitu saja pemikiran para ulama sejak dulu hingga sekarang.
Alhamdulillah, di Jakarta, mungkin karena semakin banyak tekanan yang datang dari berbagai arah atau gencarnya propaganda lewat berbagai media yang memandang dengan penuh ketidaksukaan terhadap perhelatan-perhelatan Maulid, anak-anak muda Jakarta yang sadar atas hal ini mencoba semakin ingin menyemarakkan Maulid. Bahkan peralatan sampingannya (hadhrah, marawis, dan lain-lain) menjadi lebih lengkap dari yang dulu-dulu. IY
Sumber : Majalah Al Kisah
Rabu, 07 Agustus 2013
Sabtu, 13 Juli 2013
Pandangan Ulama Seputar Hadits “Semua Bid'ah Adalah Sesat"
Hadits yang menjadi acuan utama dalam pembahasan bid'ah adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang sahabat yang bernama 'Irbadh bin Sariyah. Beberapa ahli hadits, seperti Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Tirmidzi meriwayatkan hadits tersebut dengan sedikit perbedaan matan (teks hadits).
Berikut kami kutipkan hadits tersebut sesuai yang tercantum dalam kitab Al-Mustadrak 'Alash Sahihain (Al-Hakim An-Naisaburi Al-Mustadrak 'Alash Sahihain, Darul Kutubil Umiyah, 1990, Juz.l, hal.176)
'Irbadh bin Sariyah berkata, "Suatu hari selepas shalat Subuh, Rasulullah Shollallahu 'alahi wa sallam memberikan nasehat kepada kami dengan sebuah nasehat yang sangat menyentuh sehingga membuat air mata berlinang dan hati bergetar.Maka seorang sahabat berkata, "Duhai Rasulullah, nasehat tadi sepertinya sebuah nasehat perpisahan, lantas apa yang engkau amanatkan kepada kami?" Maka Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda:
"Aku wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada pemimpin) meskipun (yang memimpin kalian) seorang budak Habasyi, sebab sesungguhnya siapa pun di antara kalian yang masih hidup (sepeninggalku), maka ia akan melihat berbagai perselisihan. Oleh karena itu hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunahku dan sunah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk (Allah). Pegang erat sunah tersebut dan gigitlah dengan gigi geraham. Berhati-hatilah kalian terhadap muhdatsatil umur (hal-hal baru), karena sesungguhnya semuamuhdats (yang baru) itu bid'ah dan semua bid'ah adalah sesat. (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Tirmidzi)
Kalimat terakhir dari sabda Rasulullah shallalldhu 'alahi wa sallam di atas inilah yang menjadi dasar sebagian orang untuk mencela amalan para salaf dan para wali. Oleh karena itu, agar tidak terjadi salah penafsiran atas ucapan Rasulullah shallalldhu 'alahi wa sallam di atas, mari kita simak penjelasan imam Nawawi radhiyallahu 'anhu berikut:
Imam Nawawi radhiyallahu 'anhu berkata:
Sabda Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam " Dan setiap bid'ah adalah sesat" merupakan hadits yang 'Am Makhshush. Dan yang dimaksud dengan bid'ah dalam hadits tersebut adalah sebagian bid'ah".
Berikut kami kutipkan hadits tersebut sesuai yang tercantum dalam kitab Al-Mustadrak 'Alash Sahihain (Al-Hakim An-Naisaburi Al-Mustadrak 'Alash Sahihain, Darul Kutubil Umiyah, 1990, Juz.l, hal.176)
'Irbadh bin Sariyah berkata, "Suatu hari selepas shalat Subuh, Rasulullah Shollallahu 'alahi wa sallam memberikan nasehat kepada kami dengan sebuah nasehat yang sangat menyentuh sehingga membuat air mata berlinang dan hati bergetar.Maka seorang sahabat berkata, "Duhai Rasulullah, nasehat tadi sepertinya sebuah nasehat perpisahan, lantas apa yang engkau amanatkan kepada kami?" Maka Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda:
"Aku wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada pemimpin) meskipun (yang memimpin kalian) seorang budak Habasyi, sebab sesungguhnya siapa pun di antara kalian yang masih hidup (sepeninggalku), maka ia akan melihat berbagai perselisihan. Oleh karena itu hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunahku dan sunah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk (Allah). Pegang erat sunah tersebut dan gigitlah dengan gigi geraham. Berhati-hatilah kalian terhadap muhdatsatil umur (hal-hal baru), karena sesungguhnya semuamuhdats (yang baru) itu bid'ah dan semua bid'ah adalah sesat. (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Tirmidzi)
Kalimat terakhir dari sabda Rasulullah shallalldhu 'alahi wa sallam di atas inilah yang menjadi dasar sebagian orang untuk mencela amalan para salaf dan para wali. Oleh karena itu, agar tidak terjadi salah penafsiran atas ucapan Rasulullah shallalldhu 'alahi wa sallam di atas, mari kita simak penjelasan imam Nawawi radhiyallahu 'anhu berikut:
Imam Nawawi radhiyallahu 'anhu berkata:
Sabda Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam " Dan setiap bid'ah adalah sesat" merupakan hadits yang 'Am Makhshush. Dan yang dimaksud dengan bid'ah dalam hadits tersebut adalah sebagian bid'ah".
Para ulama sebagaimana imam Nawawi radhiyallahu 'anhu sepakat menyatakan hadits di atas merupakan hadits yang bersifat 'Am Makhshush'. 'Am Makhshush' artinya sesuatu yang bersifat umum akan tetapi keumumannya dibatasi oleh beberapa pengecualiaan. Salah satu contohnya adalah ucapan Nabi Khidir 'Alaihissalam menjelaskan kepada Nabi Musa 'Alaihissalam alasan mengapa beliau merusak kapal. Allah Ta'ala mewahyukan:
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka I ada seorang raja yang merampas semua bahtera. (Q5. Al-Kahfi, 18:79)
Dalam ayat di atas secara jelas Nabi Khidir 'Alaihissalm menyatakan bahwa alasan beliau merusak kapal tersebuf adalah karena di tepi laut sana ada seorang raja yang merampas paksa semua kapal. Jika kata "semua kapal diartikan secara umum, maka semua kapal, apapun jenis dan keadaannya akan dirampas. Lalu apa manfaataya kapal itu dirusak? Supaya kapal tersebut tidak dirampas oleh Raja. Inilah yang dimaksud dengan “Am Makhshush'. Kata Kullu (semua) dalam ayat di atas bersifat 'Am Makhshsush artinya semua (akan dirampas) akan tetapi dengan pengecualian, yakni kecuali kapal yang rusak atau kapal yang tidak bagus Demikian pula kata "semua" pada hadits di atas memilik arti semua bid'ah sesat, kecuali bid'ah yang tidak bertentangan dengan syariat. Penjelasan di bawah ini membuktikan bahwa hadits diatas bersifat 'Am Makhshush’
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nasai dan Ibnu Majah, dari Jabir bin 'Abdullah Al-Bajili radhiyallahu 'anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Barang siapa di dalam Islam membuat sebuah sunah yang baik, maka ia memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengamalkan sunah itu setelahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa di dalam Islam membuat sebuah sunah yang buruk, maka ia memperoleh dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa sedikitpun mengurangi dosa mereka”.
Hadits di atas merupakan hadits sahih. Imam Nawawi radhiyallahu 'anhu ketika menjelaskan hadits di atas berkata:
“Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memberikan contoh awal dalam berbagai kebaikan dan membuat sunah-sunah yang baik serta terdapat peringatan untuk tidak membuat hal-hal yang batil dan buruk”.
“Dalam hadits ini juga terkandung pengecualian atas sabda Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam, "Semua yang baru adalah bid'ah dan semua bid'ah adalah sesat." Yang dimaksud hal-hal baru yang sesat adalah hal-hal baru yang batil (buruk) serta bid'ah-bid'ah yang tercela.”
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda: Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka ia tertolak. (HR Bukhari)
"Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka dia tertolak." (HR Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad)
Dalam riwayat Muslim juga disebutkan bahwa Rasullullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda: Barang siapa mengamalkan sebuah amalan yang padanya tidak ada urusan (agama) kami, maka ia tertolak. (HR Muslim) Ketika menjelaskan hadits di atas, Ibnu Rajab radhiyallahu ‘anhu berkata:
"Hadits ini secara tekstual menunjukkan bahwa amal yang tidak ada perintah Asy-Syari' (Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam) adalah tertolak. Akan tetapi secara tersirat (pemahaman) hadits ini menunjukkan bahwa semua amalan yang padanya terdapat perintah Asy-Syari' (Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam) adalah diterima. Yang dimaksud dengan perintah Asy-Syari' (Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam) dalam hadits ini adalah agama dan syariatnya. Al-Hafidz 'Abdullah Al-Ghimari radiallahu ‘anhu menjelaskan:
Hadits ini merupakan pengecualian bagi hadits bid'ah adalah sesat" sekaligus menjelaskan arti bid'ah yang sesat sebagaimana tampak jelas dalam hadits tersebut. Sebab seandainya semua bid'ah adalah sesat tanpa pengecualiaa tentu haditsnya akan berbunyi, "Barang siapa membuat sesuatu yang baru maka ia tertolak." Akan tetapi ketika Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda: "Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka dia tertolak." (HR Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad)”.
Maka sabda beliau shallallahu 'alahi wa sallam ini memberikan pengertian bahwa hal-hal yang baru terbagi menjadi dua, pertama adalah segala hal yang baru yang tidak berasal dari agama dan ia bertentangan dengan kaidah dan dalil-dalil yang terdapat dalam agama. Hal-hal baru semacam ini adalah tertolak. Inilah yang dimaksud dengan bid'ah dhalalah (sesat). Kedua adalah semua yang baru yang berasal dari agama, yaitu yang bersumber dari agama atau diperkuat oleh dalil-dalil yang berasal dari agama, hal baru seperti ini adalah benar dan diterima dan inilah yang dinamakan sunnah hasanah (baik). (Al Hafidz Abdullah Al Ghimari da;am Itqanush shunah fi tahqiqi ma’nal bid’ah(
Sumber: Ahlul bid'ah Hasanah: Habib Novel bin Muhammad Al Alaydrus
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka I ada seorang raja yang merampas semua bahtera. (Q5. Al-Kahfi, 18:79)
Dalam ayat di atas secara jelas Nabi Khidir 'Alaihissalm menyatakan bahwa alasan beliau merusak kapal tersebuf adalah karena di tepi laut sana ada seorang raja yang merampas paksa semua kapal. Jika kata "semua kapal diartikan secara umum, maka semua kapal, apapun jenis dan keadaannya akan dirampas. Lalu apa manfaataya kapal itu dirusak? Supaya kapal tersebut tidak dirampas oleh Raja. Inilah yang dimaksud dengan “Am Makhshush'. Kata Kullu (semua) dalam ayat di atas bersifat 'Am Makhshsush artinya semua (akan dirampas) akan tetapi dengan pengecualian, yakni kecuali kapal yang rusak atau kapal yang tidak bagus Demikian pula kata "semua" pada hadits di atas memilik arti semua bid'ah sesat, kecuali bid'ah yang tidak bertentangan dengan syariat. Penjelasan di bawah ini membuktikan bahwa hadits diatas bersifat 'Am Makhshush’
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nasai dan Ibnu Majah, dari Jabir bin 'Abdullah Al-Bajili radhiyallahu 'anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Barang siapa di dalam Islam membuat sebuah sunah yang baik, maka ia memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengamalkan sunah itu setelahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa di dalam Islam membuat sebuah sunah yang buruk, maka ia memperoleh dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa sedikitpun mengurangi dosa mereka”.
Hadits di atas merupakan hadits sahih. Imam Nawawi radhiyallahu 'anhu ketika menjelaskan hadits di atas berkata:
“Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memberikan contoh awal dalam berbagai kebaikan dan membuat sunah-sunah yang baik serta terdapat peringatan untuk tidak membuat hal-hal yang batil dan buruk”.
“Dalam hadits ini juga terkandung pengecualian atas sabda Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam, "Semua yang baru adalah bid'ah dan semua bid'ah adalah sesat." Yang dimaksud hal-hal baru yang sesat adalah hal-hal baru yang batil (buruk) serta bid'ah-bid'ah yang tercela.”
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda: Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka ia tertolak. (HR Bukhari)
"Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka dia tertolak." (HR Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad)
Dalam riwayat Muslim juga disebutkan bahwa Rasullullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda: Barang siapa mengamalkan sebuah amalan yang padanya tidak ada urusan (agama) kami, maka ia tertolak. (HR Muslim) Ketika menjelaskan hadits di atas, Ibnu Rajab radhiyallahu ‘anhu berkata:
"Hadits ini secara tekstual menunjukkan bahwa amal yang tidak ada perintah Asy-Syari' (Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam) adalah tertolak. Akan tetapi secara tersirat (pemahaman) hadits ini menunjukkan bahwa semua amalan yang padanya terdapat perintah Asy-Syari' (Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam) adalah diterima. Yang dimaksud dengan perintah Asy-Syari' (Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam) dalam hadits ini adalah agama dan syariatnya. Al-Hafidz 'Abdullah Al-Ghimari radiallahu ‘anhu menjelaskan:
Hadits ini merupakan pengecualian bagi hadits bid'ah adalah sesat" sekaligus menjelaskan arti bid'ah yang sesat sebagaimana tampak jelas dalam hadits tersebut. Sebab seandainya semua bid'ah adalah sesat tanpa pengecualiaa tentu haditsnya akan berbunyi, "Barang siapa membuat sesuatu yang baru maka ia tertolak." Akan tetapi ketika Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda: "Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka dia tertolak." (HR Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad)”.
Maka sabda beliau shallallahu 'alahi wa sallam ini memberikan pengertian bahwa hal-hal yang baru terbagi menjadi dua, pertama adalah segala hal yang baru yang tidak berasal dari agama dan ia bertentangan dengan kaidah dan dalil-dalil yang terdapat dalam agama. Hal-hal baru semacam ini adalah tertolak. Inilah yang dimaksud dengan bid'ah dhalalah (sesat). Kedua adalah semua yang baru yang berasal dari agama, yaitu yang bersumber dari agama atau diperkuat oleh dalil-dalil yang berasal dari agama, hal baru seperti ini adalah benar dan diterima dan inilah yang dinamakan sunnah hasanah (baik). (Al Hafidz Abdullah Al Ghimari da;am Itqanush shunah fi tahqiqi ma’nal bid’ah(
Sumber: Ahlul bid'ah Hasanah: Habib Novel bin Muhammad Al Alaydrus
Jumat, 12 Juli 2013
Mengkritisi Mazhab Panggilan Hati: Dialog Al Bouti vs Al-Bani
Assalamualaikum..
Setiap orang apabila menemui suatu masalah fiqiyah, pilihanya hanya dua, yaitu antara berfikir dan berijtihad sendiri sambil terus mencari dalil yang dapat menjawab atau bertaqlid mengikuti pendapat mujtahid terdahulu.
Pilihan berijtihad tidak diperuntukan kesemua orang karena tidak mungkin semua orang harus menggunakan waktunya untuk mencari, berfikir, mempelajari perangkat2 ijtihad yang akan memakan waktu lama. Ijtihad tidak bisa hanya sekedar membaca satu-dua buku, apalagi buku terjemahan, dan bahkan tanpa guru yang memiliki sanad keilmuan. Bila itu terjadi maka rusaklah syareat agama.
Berikut adalah potongan perdebatan mengenai ijtihad ini antara Syaikh Muhammad Said Ramadhan Al-Bouthi dengan Syaikh Nashirudin Al Bani tokoh pemuka Salafi-Wahabi yang terkenal berfaham anti mazhab. Diskusi ini diambil dari kitab Syeikh Al Bouthi yang berjudul "Al-La Mazhabiyah Akhthar Bid'ah Tuhaddid asy-Syariah al-Islamiyah" - Faham tak bermazhab adalah bid'ah paling berbahaya yang dapat menghancurkan syariat Islam".
Berikut adalah isi Jalanya diskusi tersebut:
Al-Bouti : Bagaimana cara anda memahami hukum Allah ? Apakah anda langsung mengambil dari Al-Qur’an dan Sunnah ataukah anda mengambilnya dari para imam mujtahid ?
Al-Bani: Saya akan meneliti pendapat para imam mujtahid serta dalil-dalilnya kemudian saya akan mengambil keterangan yang dalilnya paling mendekati Al-Qur’an dan Sunnah.
Al-Bouti : Seandainya anda mempunyai uang 5000 Lira Syria dan uang tersebut anda simpan selama enam bulan, lalu anda menggunakannya membeli barang-barang untuk diperdagangkan. Kapankah anda membayar zakat harta perdagangan tersebut ? Apakah setelah enam bulan kedepan ataukah setelah satu tahun ?
Al-Bani : Maksud tuan apakah harta perdagangan itu wajib dizakati ?
Al-Bouti : Saya sekedar bertanya dan saya berharap anda menjawabnya dengan cara anda sendiri. Perpustakaan ada didepan anda. Disitu terdapat kitab-kitab tafsir, kitab-kitab hadits dan juga kitab-kitab para imam mujtahidin.
Al-Bani: Hai Saudaraku ! Ini adalah masalah agama, bukan soal mudah yang dapat dijawab seketika. Memerlukan waktu untuk mempelajarinya dengan seksama (teliti). Kedatangan kami kesini adalah untuk membahas masalah yang lain !
Al-Bouti : Baiklah..! kami ingin bertanya Apakah setiap muslim wajib menyelidiki dalil-dalil para imam mujtahid kemudian mengambil mana yang lebih cocok dengan Al-Qur’an dan hadits ?
Al-Bani: Ya benar !
Al-Bouti : Kalau begitu semua orang harus memiliki kemampuan ijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam madzhab. Bahkan mereka harus memiliki kemampuan yang lebih sempurna karena orang-orang yang mampu memutuskan pendapat para imam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah sudah barang tentu lebih pandai dari semua imam itu.
Al-Bani : Sesungguhnya manusia itu ada tiga macam : Mukallid, Muttabi’ dan Mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab kemudian memilih mana yang lebih dekat kepada Al Qur’an dan Sunnah adalah Muttabi’ yakni pertengahan antara Mukallid dan Mujtahid.
(Al-bani menyebut muttabi' berada diantara muqallid dan mujtahid, tapi kapasitas muttabi disini menjadi lebih unggul dari mujtahid, karena mujtahid sendiripun tidak membanding-bandingkan mazhab, menyaring pendapat imam mazhab lalu memutuskan pendapat para imam mazhab tersebut sesuai dengan Al-Quran dan sunnah. inilah yang dimaksud Al Bouthi sebagai "Sudah tentu lebih pandai dari semua imam itu" Tapi Albani tidak menjawab peratnyaan Al Bouthi, apakah setiap orang islam harus sedekimian itu)
Al-Bouti : Apa sebenarnya kewajiban Mukallid ?
Al-Bani : Dia taqlid kepada imam mujtahid yang cocok dengannya.
Al-Bouti : Apakah berdosa jika ia taqlid kepada seorang imam secara terus menerus dan tidak mau pindah kepada imam yang lain ?
Al-Bani : Ya, hal itu hukumnya haram !
Al-Bouti : Kalau yang demikian itu haram, apakah dalilnya ?
Al-Bani : Dalilnya adalah karena dia menetapi sesuatu yang tidak pernah diwajibkan oleh Allah ‘azza wajalla.
Al-Bouti : Dari tujuh macam qiro’at, qiro’at apa yang anda pakai untuk membaca Al Qur’an ?
Al-Bani : Qiro’at imam Hafash .
Al-Bouti : Apakah anda selalu membaca Al Qur’an dengan qira’at imam Hafash ataukah anda membaca Al Qur’an setiap harinya dengan qiro’at yang berbeda-beda ?
Al-Bani : Tidak, saya selalu membaca Al-Qur’an dengan qiro’at imam Hafash saja.
(golongan anti madzhab ini sendiri memegang satu macam qiro’at dari tujuh macam yang ada, mengapa mereka tidak mengharamkan hal ini ?, sedangkan golongan selain golongannya bila memegang satu amalan dari satu madzhab terus menerus maka mereka haramkan, beginilah sifat mereka selalu membenarkan golongannya sendiri dan mensesatkan golongan lainnya bila tidak sepaham dengan mereka, walaupun tidak ada dalil yang mengharamkannya ! pen.) .
Al-Bouti : Mengapa anda selalu menetapi qiro’at imam Hafash ?, sedangkan menurut riwayat yang diterima dari Nabi saw. secara mutawatir bahwa Allah hanya mewajibkan anda untuk membaca Al-Qur’an !
Al-Bani : Karena saya belum mempelajari qiro’at-qiro’at yang lain dengan sempurna. Dan tidak mudah bagi saya untuk membaca Al Qur’an kecuali dengan qiro’at imam Hafash !
Al-Bouti : Demikian pula halnya dengan orang yang mempelajari fiqh menurut madzhab Syafi’i. Dia juga tidak cukup sempurna dalam mempelajari madzhab-madzhab yang lain dan tidak mudah baginya untuk mempelajari hukum agama selain dari madzhab Syafi’i. Kalau anda mewajibkan kepadanya untuk mengetahui ijtihad para imam dan mengambil semuanya, ini berarti anda pun wajib mempelajari semua qiro’at itu. Kalau anda beralasan tidak mampu, maka begitu juga halnya si mukallid tadi. Singkatnya kami ingin mengatakan, apa alasan anda sehingga mewajibkan para mukallid untuk berpindah-pindah dari madzhab yang satu ke madzhab yang lain ?, sedangkan Allah tidak pernah mewajibkan yang demikian ! Artinya sebagaimana Allah swt. tidak pernah mewajibkan untuk mengikuti satu madzhab secara terus-menerus, begitu juga Allah tidak pernah mewajibkan untuk terus menerus pindah satu madzhab ke madzhab yang lain !
Al-Bani : Sesungguhnya yang haram itu ialah kalau seseorang mempunyai I’tikad (keyakinan) bahwa Allah memerintahkannya untuk terus-menerus menetapi madzhab tertentu.
Al-Bouti : Ini masalah lain dan itu memang benar, tidak ada perbedaan pendapat. Akan tetapi apakah ia berdosa kalau terus-menerus mengikuti imam tertentu sedangkan dia juga tahu bahwa Allah tidak pernah mewajibkan yang demikian kepadanya ?
Al-Bani : Kalau seperti itu tidaklah dia berdosa !
Al-Bouti: Tetapi buku Syeikh Khajandi yang anda pelajari itu menyebut- kan hal yang berbeda dengan apa yang anda katakan. Khajandi secara tegas mengharamkan yang demikian bahkan pada beberapa bagian dari buku itu ia menyatakan kafir kepada orang yang terus-menerus mengikuti seorang imam tertentu dan tidak mau pindah kepada yang lain !
Al-Bani : Mana…,? Selanjutnya ia berpikir tentang tulisan Syeikh Khajandi yang berbunyi : “Bahkan siapa saja yang mengikuti seorang imam secara terus-menerus dalam setiap masalah, maka dia termasuk orang fanatik yang salah serta telah taqlid secara membabi buta dan dialah orang yang telah mencerai-beraikan agama dan menjadikan diri mereka berkelompok-kelompok”. Lalu dia berkata bahwa yang dimaksud dengan mengikuti secara terus-menerus disitu adalah mengi’tikadkan wajibnya yang demikian dari sudut pandang agama. Didalam pernyataan itu terdapat pembuangan.
Al-Bouti: Apakah buktinya kalau Syeikh Khajandi itu bermaksud demikian? Mengapa anda tidak mengatakan bahwa Syeikh Khajandi itu telah melakukan kesalahan ?
(Terhadap pertanyaan Syeik Sa’id ini kelompok anti madzhab itu tetap bersikeras bahwa apa yang dikatakan Syeikh Khajandi itu benar karena didalam ucapannya itu terdapat pembuangan kalimat.)
Al-Bouti melanjutkan : Akan tetapi meskipun anda memperkirakan adanya pembuangan kalimat pada ucapan Syeikh Khajandi itu (yakni kalimat apabila dia mengi’tikadkan wajibnya mengikuti seorang imam secara terus menerus ) tetap saja ucapan tersebut tidak memiliki makna apa-apa karena setiap muslim mengetahui bahwa seorang imam tertentu dari keempat imam madzhab itu bukanlah termasuk kewajiban syari’at melainkan atas dasar pilihan orang itu sendiri.
Al-Bani: Bagaimana bisa demikian ? Saya mendengar dari banyak orang dan juga dari sebagian ahli ilmu bahwa diwajibkan secara syari’at mengikuti madzhab tertentu secara terus menerus dan tidak boleh berpindah kepada madzhab yang lain !
Al-Bouti : Coba anda sebutkan kepada kami nama satu orang saja dari kalangan awam atau ahli ilmu yan menyatakan demikian !(Terhadap permintaan Syeikh Sa’id ini kelompok anti madzhab itu terdiam sejenak. Ia heran kalau-kalau ucapan Syeikh Sa’id itu benar, dan dia [anti madzhab] pun mulai ragu-ragu tentang kebenaran atas pernyataannya sendiri yakni perkataan mereka bahwa sebagian besar manusia mengharam kan berpindah-pindah madzhab.).
Selanjutnya Al-Bouti mengatakan : Anda tidak akan menemukan satu orangpun yang beranggapan keliru seperti ini. Memang pernah diriwayatkan bahwa pada masa terakhir Dinasti Utsmaniyyah mereka keberatan kalau ada orang yang bermadzhab Hanafi pindah kemadzhab lain. Hal ini kalau memang benar adalah termasuk fanatik buta yang tercela.
Hanya Dua Kategori!
Al-Bouti :Dari mana Anda mengetahui perbedaan antara muqallid dan muttabi'?
Al-Bani:Perbedaannya ialah dari segi bahasa,
(Lalu Al-Buthi mengambil kitab-kitab bahasa agar Al-Albani dapat menetapkan perbedaan makna bahasa darl dua kalimat tersebut, tetapi la tidak menemul apa-apa. Al-Buthi kembali melanjutkan pembicaraan).
Al-Bouti :Sayyidina Abu Bakar RA pernah berkata kepada seorang Arab badwi yang menentang pajak dan perkataannya ini diakui segenap sahabat, "Apabila para muhajirin telah rela, hendaknya kalian menyepakatinya (mengikuti)."
Abu Bakar mengatakan taba'un (mengikuti), yang berarti muwafaqah (menyepakati).
Al-Bani: Kalau begitu, perbedaan makna kedua kata tersebut adalah dari segl istilah, dan bukan hak saya untuk membuat suatu Istilah.
Al-Bouti :Silakan saja Anda membuat istilah, tetapi Istilah yang Anda buat tetap tak akan mengubah hakikat sesuatu. Orang yang Anda sebut muttabi', kalau ia mengetahui dalil dan cara melakukan istinbath darinya, berarti ia seorang mujtahid. Tetapi apabila orang itu dalam suatu masalah tidak tahu dan tidak mampu ber-istinbath, berarti ia mujtahid dalam sebahagian masalah dan muqallid dalam masalah lain. Oleh karena itu, bagaimanapun juga pembahagian tingkatan seseorang hanya ada dua macam, mujtahid dan muqallid. Ini hukumnya sudah cukup jelas dan telah diketahui.
Al-Bani: Sesungguhnya muttabi' adalah orang yang mampu membedakan pendapat mujtahidin dan dalil-dalilnya, kemudian menguatkan salah satu daripadanya. Tingkatan ini berbeda dengan taqlld.
Al-Bouti : Kalau yang Anda maksudkan "membedakan pendapat para imam mujtahid ialah membedakan mana yang kuat dan mana yang lemah dari segi dalil, berarti tingkat ini adalah lebih tinggi dari ijtihad (lebih unggul darl Imam mujtahid). Apakah Anda mampu berbuat demikian?
Al-Bani:Saya akan melakukannya sejauh kemampuan saya.
(Kata-kata Al-Albani itu sesungguhnya secara tidak langsung menunjukkan bahwa la mempunyai kemampuan lebih tinggi dari para imam ijtihad, sebab ia mampu membedakan pendapat mujtahidin dan dalil-dalilnya, meski dengan catatan: "sejauh kemampuan saya". Al-Buthi rhencoba mengangkat contoh kasus yang akan menunjukkan kekeliruan cara pandang sepertl itu).
Talak Tiga: Contoh Kasus
Al-Bouti : Kami mendengar Anda telah berfatwa bahwa talak tiga yang dljatuhkan dalam satu kesempatan yang jatuh satu talak saja. Apakah sebelum menyampai-kan fatwa Anda talah meneliti pertdapat para Imam madzhab serta dalil-dalil me¬reka, kemudian Anda memilih salah satu dari pendapat mereka lalu baru Anda berfatwa?
Ketahullah bahwa Uwalmlr Al-ljlanl telah menjatuhkan talak tiga kepada istrinya di hadapan Rasulullah SAW. Se-telah ia bersumpah li’an dangan istrinya, ia barkata, "Saya jadi berbohong kepadanya, ya Rasulullah, blla saya menahannya, dan saya jatuhkan talak tiga." Bagaimana pengetahuan Anda tentang hadlts inl dan kedudukannya dalam masalah Ini, serta pengertianya menurut madzhab sebagian besar ulama dan menurut madzhab Ibnu Taimiyyah?
Al-Bani:Saya belum pernah melihat hadits Ini.
Al-Bouti : Bagaimana Anda bisa memfatwakan suatu masalah yang bertentangan dengan apa yang telah disepakati keempat imam madzhab, padahal Anda belum mengetahui dallil-dalil mereka, serta tingkatan kekuatan dalll-dalltnya? Kalau begitu Anda telah menlnggalkan prinsip yang Anda anut, yaitu ittiba', menurut istilah yang Anda katakan sendiri. (Ya, jawaban Al-Albani bertentangan dengan pemyataan awalnya sendiri, "Saya akan meneliti pendapat para imam mujtahid serta dalil-dalilnya, kemudian saya mengambil keterangan yang paling mendekati dalil Al-Qur'an dan sunnah." Berikutnya, la pun memberikan alasan akan hal itu).
Al-Bani:Pada waktu itu saya tidak memiliki kitab yang cukup untuk melihat dalil dari imam-imam madzhab.
Al-Bouti : Kalau begitu apa yang mendorong Anda tergesa-gesa memberi fatwa yang menyelisihi pendapat jumhur kaum muslimin padahal Anda belum memeriksa dalil-dalll mereka?
Al-Bani: Apa yang harus saya perbuat ketika saya ditanya mengenai masalah tersebut sedangkan kitab yang ada pada saya terbatas sekali?
Al-Bouti : Sesungguhnya cukup bagi Anda untuk mengatakan "Saya tidak tahu tertang masalah ini", atau Anda terangkan saja pendapat madzhab empat kepada si penanya serta pendapat mereka yang berbeda dengan madzhab empat imam harus memberlkan fatwa kepadanya dangan salah satu pendapat yang demikian ini sudah cukup untuk Anda dan memang sampai di situlah kewajlban anda. Apatah lagi masalah itu tidak langsung berkaitan dengan diri Anda mengapa bisa sampai Anda berfatwa dengan pendapat yang menyalahi Ijma' keempat imam tanpa mengetahui dalil-dalil yang dijadlkan hujjah oleh mereka, dengan Anda menganggap cukup pada dalil yang ada di plhak yang bertentangan dengan madzhab yang empat. Anda berada di puncak kefanatikan sebagaimana yang selalu Anda tuduhkan kepada kami.
Al-Bani: Saya telah menelaah pendapat ke-empat-empat imam dalam Subul as-Salam, karya Asy-Syaukani, dan Flqh as-Sunnah, karya Sayyid Sabiq.
Al-Bouti : Kitab yang Anda sebutkan adalah kitab yang memusuhi keempat imam madzhab dalam masalah ini. Apakah Anda rela menjatuhkan hukuman kepada salah seorang tertuduh hanya dengan mendengarkan keterangan saksi-saksi dan keluarganya tanpa mendengarkan keterangan lain dari tertuduh?
Al-Bani:Saya kira, apa yang telah saya lakukan tak patut dicela. Saya telah berfatwa kepada orang yang bertanya, dan itulah batas kemampuan pemahaman saya.
Al-Bouti : Anda telah menyatakan sebagai muttabi dan kita semua hendaknya menjadi muttabi'. Anda telah menafsirkan bahwa ittiba' ialah meneliti semua pendapat madzhab dan mempelajari dalil-dalil yang dikemukakan, ialu mengambil mana yang paling mendekati dalil yang benar. Namun apa yang telah Anda lakukan ternyata bertolak belakang.
Anda mengetahui, madzhab yang empat telah ijma’ bahwa talak yang dijatuhkan tiga sekaligus berarti jatuh tiga. Anda mengetahui bahwa keempat imam madzhab mempunyai dalil tentang masalah ini, hanya saja Anda belum mendapatinya. Namun demikian, Anda berpaling dari ijma' mereka dan mengambil pendapat yang sesuai dengan keinginan Anda. Apakah Anda sejak mula telah yakin bahwa dalil-dalil keempat imam madzhab ttu tidak dapat diterima?
Al-Bani:Tldak, cuma saya tidak mendapal nya karena saya tidak memiliki kitab-kitab tersebut.
Al-Bouti : Mengapa Anda tidak mau menunggu? Mengapa Anda tergesa-gesa pada-hal Allah SWT tidak memaksakan Anda untuk berbuat demikian? Apakah karena Anda tldak mendapati dalil-dalil -para ulama jumhur yang dapat digunakan sebagai alasan untuk menguatkan pendapat Ibnu Taimlyyah? Apakah fanatik yang Anda anggap dusta itu tidak lain ialah apa yang Anda telah lakukan?
Al-Bani:Pada kitab-kitab yang ada pada saya, saya telah mendapatkan dalil-dalil yang cukup memuaskan dan Allah tidak membebani saya lebih dari itu.
Al-Bouti : Apabila seorang muslim mendapati satu dalil dalam kitab yang dibacanya, apakah cukup dengan dalil tersebut ia meninggalkan semua mazhab yang berbeda dengan pemahamannya sekalipun ia belum mendapati dalil-daiil madzdzhab-madzhab tersebut?
Al-Bani: Ya, cukup.
Seorang Muallaf; sebuah analog
Al-Bouti :Ada seorang pemuda yang baru saja memeluk agama Islam, la sama sekali tak mengetahui pendldlkan agama Islam, Laiu ia membaca firman Allah 'Azza wa Jaffa, yang artinya, "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat; maka ke mana pun kamu menghadap, dsitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (Rahmat-Nya) lagi) Maha Mengetahui." QS Al-Baqarah 115. Pemuda tersebut lalu beranggapan bahwa setiap orang yang hendak shalat boleh menghadap ke arah mana saja sebagaimana dttunjukkan oleh zhahirnya redaksi ayat Al-Quran Itu.
Kemudian ia mendengar bahwa keempat imam madzhab telah bersepakat bahwa seorang yang shalat harus meng¬hadap Ka'bah. la sadar, para imam mempunyal dalil untuk masalah ini, hanya saja ia belum mendapatlnya. Apakah yang harus dilakukan oleh pemuda tersebut sewaktu la hendak mengerjakan shalat? Apakah cukup dengan menglkutl panggiian hatinya karena la telah menemukan ayat Al-Qur'an tersebut, atau ia harus menglkutl pendapat para imam yang berbeda dengan pemahamannya?
Al-Bani: Cukup dengan menglkuti panggilan hatinya.
Al-Bouti :Meskipun dengan menghadap ke arah tlmur misalnya? Apakah shalatnya dianggap sah?
Al-Bani:Ya, karena ia wajib menglkuti panggilan hatinya.
Al-Bouti :Andai kata panggilan hati pemuda itu mengilhaml dlrinya sehingga ia merasa tidak apa-apa berbuat zina dengan istri tetangganya, memenuhi perutnya dengan khamar dan merampas harta manusla tanpa hak, apakah Allah akan memberlkan syafa'at kepadanya lantaran panglllan hatinya itu?
(Terdiam sejenak, laiu berkata): Al-Bani: Sebenarnya contoh-contoh yang Tuan tanyakan hanyalah khayalan dan tidak ada buktinya.
Al-Bouti : Bukan khayalan atau dugaan semata-mata, bahkan selalu terjadl hal se-perti itu ataupun lebih aneh lagi.
Bagaimana tidak begitu, seorang pemuda yang tak punya kelayakan pengetahuan tentang Islam, Al-Qur’an dan sunnah, kemudian membaca sepotong ayat Al-Qur'an yang ia pahami menurut apa adanya. la kemudian berpendapat boleh saja shalat menghadap ke arah mana saja meskipun ia tahu bahwa shalat harus menghadap kiblat. Pada kasus Ini apakah Anda tetap berpendirian bahwa shalatnya sah karena manganggap cufcup dengan aclanya bisikan hati nurani atau panggilan jiwa si pemuda tersebut?
Di samping itu, menurut Anda, bisikan hati, panggiian jiwa, dan kepuasan moril dapat memutuskan segala urusan (dijadikan sumbar untuk mangeluarkan hukum). Kenyataan ini jeias bertantangan dengan prinsip Anda bahwa manusia terbagi atas tiga kelompok: mujtahid, muqallid, dan muttabi’ (karena dengan modal panggilan hati itu nyatanya semua manusia adalah muttabi’/mujtahld, termasuk si muallaf tadi).
Al-Bani:Semestinya pemuda itu membahas dan meneliti. Apakah ia tidak mambaca hadits atau ayat lainnya?
Al-Bouti :la tidak memiliki cukup bahan untuk mambahas sebagaimana halnya Anda ketika membahas ihwal masalah talak. ia tak sempat membaca ayat-ayat lain yang berhubungan dengan masalah kiblat selain di atas. Dalam hal ini apakah ia tetap harus mengikuti bisikan hatinya dengan meninggalkan ljma' para ulama?
Al-Bani:Memang seharusnya begitu kalau ia tidak mampu membahas dan menganalisis. Baginya cukuplah berpegang pada hasil pikirannya sendiri dan ia tidaklah salah.
(Pandangan ini jelas manyimpan potensi yang membahayakan. Itulah mengapa Ai-Buthi sampai menulis sebuah kitab berjudul Al-la Madzhabiyah Akhthar Bid'ah Tuhaddid asy-Sari'ah al-lslam-iyah - Paham tak Bermadzhab adalah Bid'ah Paling Barbahaya yang dapat Menghancurkan Syariat islam. Betapa tidak? Bayangkan saja, saandainya para muallaf atau orang-orang islam awam membuka lembaran-lembaran AI-Quran, lalu membaca Surah At-Tawbah ayat ke-5, yang artinya, "Bunuhlah mereka (orang-orang musyrik) di mana saja kamu menjumpai mereka", atau ayat-ayat yang redaksinya semacam Itu, lalu orang-orang tersebut tak mau bertanya kepada yang lebih paham tentang makna ayat tersebut dan serta merta bertekad bulat akan memenuhl panggiian hatinya untuk “menjalankan perintah Allah" ini, dapatkah Anda membayangkan apa yang akan terjadi?
Tak aneh bila banyak pengamat menllai bahwa embrio radikalisme acap bermula dari paham ala tekstualis seperti ini. Rupanya matoda pokok istinbath (penylmpulan) hukum salah satu tokoh pemuka al-la madzhabiyyah (non-mazhab) Ini adalah mengikuti panggiian hati. Dan cocoklah klranya bila klta menamai madzhab" ala Al-Albani Ini dangan madzhab panggiian hati”).
Al-Bouti :Ucapan Anda ini amat sangat berbahaya dan mengejutkan. Kami akan siarkan.
Al-Bani:Silakan Tuan menyiarkan pendapat saya dan saya tidak takut.
Al-Bouti :Bagalmana Anda akan takut kepada saya sedangkan Anda tldak takut kepada Allah SWT? Sesungguhnya dengan ucapan tersebut Anda telah membuang firman Allah SWT, yang artinya, "Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak mangetahuf - OS-An Nahi: 43.
Al-Bani: Tuan, para imam tidaklah ma’shum - terpelihara dari kesalahan. Bolehkah ia (si muallaf) meninggalkan yang ma'shum (Maksudnya nash-nash agama sepertl Al qur’an dan hadlts Rasulullah SAW) dan berpegang pada orang yang tidak ma'shum?
Al-Bouti :Yang terpelihara dari kesalahan adalah makna yang hakiki yang dikehendaki Allah Azza wa Jaila daiam firman-Nya, yang artinya, “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat" Akan tetapi pemahaman pemuda yang jauh sekali dari pendidikan Islam sama sekali tidak ma'shum?
jadi masalahnya ialah perbandingan antara dua pemahaman, yaitu pemahaman atau pemikiran seorang pemuda yang jahil dengan pemahaman atau pemikiran para Imam mujtahiddln, yang keduanya tidak ma'shum. Perbedaannya hanyalah yang satu terlalu jahil dan yang satu lagi sangat dalam ilmunya.
Al-Bani:Sesungguhnya Allah SWT tidak membebaninya melebihi kemampuannya.
Dokter don Brosur: Analog! Lainnya
Al-Bouti :Tolong Jawab pertanyaan ini. Sese orang mempunyai anak kecil yang sedang saklt panas. Menurut saran semua dokter yang ada di kota Itu, la harus diberi obat khusus dan mereka melarang orangtua ai anak untuk mengobatinya dengan antlbiotik. Mereka pun telah memberi tahu kepada orangtua si anak bahwa, sekiranya saran ini dilanggar, mungkin saja Itu menyebabkan kematian si anak, Suatu ketika si orangtua membaca selebaran brosur ks\esehatan dan manemukan keterangan bahwa antibiotik terkadang barmanfaat untuk mengobati saklt panas. Berdasarkan isi selebaran itu, orangtua tersebut tidak memperhatikan lagi saran dokter, Dengan panggilan hatinya, ia merawat anaknya dengan antibiotik hingga mangakibatkan kematian si anak, Dengan tindakan ini, apakah orangtua tersebut berdosa atau tidak?
Al-Bani: Saya kira, masalah itu lain dengan masalah ini dan maksudnya pun berbeda dengan persoalan yang sectang kita bicarakan.(Di sini tampaknya Al-Albani gagal menangkap analogi yang sederhana Ini. Lalu, bagalmana ia mampu membanding-kan hujjah-huijah para imam madzhab?)
Al-Bouti :Masalah ini pada hakikatnya sama dengan hat yang tengah kita bicarakan.
Coba Anda perhatikan. Orangtua tersebut sudah mendengarkan ijma (kesepakatan) para dokter, sebagaimana pe¬muda tadi juga telah mendengar ijma' para ulama. Akan tetapi lantaran tak tahu landasan dan teori-teori medis dunia kedokteran) orangtua itu bepegang pada brosur kesehatan yang ia baca dan hatinya kemudian condong padanya, sebagalmana pemuda tersebut melaksanakan panggilan hatinya.
Al-Bani:Tuan, Al-Quran adalah nur (cahaya). Nur AI-Qur'an tidak dapat disamakan dengan yang lain.
Al-Bouti :Apakah pantulan cahaya Al-Qur'an itu dapat dipahami oleh setiap yang membaca Al-Qur'an dengan pemahaman yang tepat sebagaimana yang dlkehendakl Allah SWT? Kalau begitu, apa bedanya antara ahli ilmu dan yang bukan ahli ilmu dalam menerima cahaya Al-Qur'an?
Al-Bani:Panggilan hati adalah yang paling asas/pokok,
Al-Bouti :Orangtua tersebut telah melaksanakan panggilan hatinya hingga menyebabkan kematian anaknya. Apakah ada pertanggungjawaban bagl orangtua itu baik dari sagi syari'at maupun tuntunan hukum?
Al-Bani:Dia tidak dituntut apa-apa.
Al-Bouti :Dengan pernyataan Anda seperti ini, saya kira diskusi ini kita cukupkan saja sampai di sinl. Sudah putus jalan untuk menemukan pendapat kami dengan Anda. Dengan Jawaban Anda yang sangat ganjil itu, cukuplah kiranya kalau Anda talah kaluar dari ijma' kaum muslimin.
(Demikian ucap Al-Buthl mengakhiri diskusinya dengan Al-Albani. Dari jawaban terakhir Al-Albani, tampaknya Al-Buthi telah menangkap sesuatu sehingga ia merasa tak perlu lagi memperpanjang pembicaraan).
Sumber: Majalah Alkisah
Setiap orang apabila menemui suatu masalah fiqiyah, pilihanya hanya dua, yaitu antara berfikir dan berijtihad sendiri sambil terus mencari dalil yang dapat menjawab atau bertaqlid mengikuti pendapat mujtahid terdahulu.
Pilihan berijtihad tidak diperuntukan kesemua orang karena tidak mungkin semua orang harus menggunakan waktunya untuk mencari, berfikir, mempelajari perangkat2 ijtihad yang akan memakan waktu lama. Ijtihad tidak bisa hanya sekedar membaca satu-dua buku, apalagi buku terjemahan, dan bahkan tanpa guru yang memiliki sanad keilmuan. Bila itu terjadi maka rusaklah syareat agama.
Berikut adalah potongan perdebatan mengenai ijtihad ini antara Syaikh Muhammad Said Ramadhan Al-Bouthi dengan Syaikh Nashirudin Al Bani tokoh pemuka Salafi-Wahabi yang terkenal berfaham anti mazhab. Diskusi ini diambil dari kitab Syeikh Al Bouthi yang berjudul "Al-La Mazhabiyah Akhthar Bid'ah Tuhaddid asy-Syariah al-Islamiyah" - Faham tak bermazhab adalah bid'ah paling berbahaya yang dapat menghancurkan syariat Islam".
Berikut adalah isi Jalanya diskusi tersebut:
Al-Bouti : Bagaimana cara anda memahami hukum Allah ? Apakah anda langsung mengambil dari Al-Qur’an dan Sunnah ataukah anda mengambilnya dari para imam mujtahid ?
Al-Bani: Saya akan meneliti pendapat para imam mujtahid serta dalil-dalilnya kemudian saya akan mengambil keterangan yang dalilnya paling mendekati Al-Qur’an dan Sunnah.
Al-Bouti : Seandainya anda mempunyai uang 5000 Lira Syria dan uang tersebut anda simpan selama enam bulan, lalu anda menggunakannya membeli barang-barang untuk diperdagangkan. Kapankah anda membayar zakat harta perdagangan tersebut ? Apakah setelah enam bulan kedepan ataukah setelah satu tahun ?
Al-Bani : Maksud tuan apakah harta perdagangan itu wajib dizakati ?
Al-Bouti : Saya sekedar bertanya dan saya berharap anda menjawabnya dengan cara anda sendiri. Perpustakaan ada didepan anda. Disitu terdapat kitab-kitab tafsir, kitab-kitab hadits dan juga kitab-kitab para imam mujtahidin.
Al-Bani: Hai Saudaraku ! Ini adalah masalah agama, bukan soal mudah yang dapat dijawab seketika. Memerlukan waktu untuk mempelajarinya dengan seksama (teliti). Kedatangan kami kesini adalah untuk membahas masalah yang lain !
Al-Bouti : Baiklah..! kami ingin bertanya Apakah setiap muslim wajib menyelidiki dalil-dalil para imam mujtahid kemudian mengambil mana yang lebih cocok dengan Al-Qur’an dan hadits ?
Al-Bani: Ya benar !
Al-Bouti : Kalau begitu semua orang harus memiliki kemampuan ijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam madzhab. Bahkan mereka harus memiliki kemampuan yang lebih sempurna karena orang-orang yang mampu memutuskan pendapat para imam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah sudah barang tentu lebih pandai dari semua imam itu.
Al-Bani : Sesungguhnya manusia itu ada tiga macam : Mukallid, Muttabi’ dan Mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab kemudian memilih mana yang lebih dekat kepada Al Qur’an dan Sunnah adalah Muttabi’ yakni pertengahan antara Mukallid dan Mujtahid.
(Al-bani menyebut muttabi' berada diantara muqallid dan mujtahid, tapi kapasitas muttabi disini menjadi lebih unggul dari mujtahid, karena mujtahid sendiripun tidak membanding-bandingkan mazhab, menyaring pendapat imam mazhab lalu memutuskan pendapat para imam mazhab tersebut sesuai dengan Al-Quran dan sunnah. inilah yang dimaksud Al Bouthi sebagai "Sudah tentu lebih pandai dari semua imam itu" Tapi Albani tidak menjawab peratnyaan Al Bouthi, apakah setiap orang islam harus sedekimian itu)
Al-Bouti : Apa sebenarnya kewajiban Mukallid ?
Al-Bani : Dia taqlid kepada imam mujtahid yang cocok dengannya.
Al-Bouti : Apakah berdosa jika ia taqlid kepada seorang imam secara terus menerus dan tidak mau pindah kepada imam yang lain ?
Al-Bani : Ya, hal itu hukumnya haram !
Al-Bouti : Kalau yang demikian itu haram, apakah dalilnya ?
Al-Bani : Dalilnya adalah karena dia menetapi sesuatu yang tidak pernah diwajibkan oleh Allah ‘azza wajalla.
Al-Bouti : Dari tujuh macam qiro’at, qiro’at apa yang anda pakai untuk membaca Al Qur’an ?
Al-Bani : Qiro’at imam Hafash .
Al-Bouti : Apakah anda selalu membaca Al Qur’an dengan qira’at imam Hafash ataukah anda membaca Al Qur’an setiap harinya dengan qiro’at yang berbeda-beda ?
Al-Bani : Tidak, saya selalu membaca Al-Qur’an dengan qiro’at imam Hafash saja.
(golongan anti madzhab ini sendiri memegang satu macam qiro’at dari tujuh macam yang ada, mengapa mereka tidak mengharamkan hal ini ?, sedangkan golongan selain golongannya bila memegang satu amalan dari satu madzhab terus menerus maka mereka haramkan, beginilah sifat mereka selalu membenarkan golongannya sendiri dan mensesatkan golongan lainnya bila tidak sepaham dengan mereka, walaupun tidak ada dalil yang mengharamkannya ! pen.) .
Al-Bouti : Mengapa anda selalu menetapi qiro’at imam Hafash ?, sedangkan menurut riwayat yang diterima dari Nabi saw. secara mutawatir bahwa Allah hanya mewajibkan anda untuk membaca Al-Qur’an !
Al-Bani : Karena saya belum mempelajari qiro’at-qiro’at yang lain dengan sempurna. Dan tidak mudah bagi saya untuk membaca Al Qur’an kecuali dengan qiro’at imam Hafash !
Al-Bouti : Demikian pula halnya dengan orang yang mempelajari fiqh menurut madzhab Syafi’i. Dia juga tidak cukup sempurna dalam mempelajari madzhab-madzhab yang lain dan tidak mudah baginya untuk mempelajari hukum agama selain dari madzhab Syafi’i. Kalau anda mewajibkan kepadanya untuk mengetahui ijtihad para imam dan mengambil semuanya, ini berarti anda pun wajib mempelajari semua qiro’at itu. Kalau anda beralasan tidak mampu, maka begitu juga halnya si mukallid tadi. Singkatnya kami ingin mengatakan, apa alasan anda sehingga mewajibkan para mukallid untuk berpindah-pindah dari madzhab yang satu ke madzhab yang lain ?, sedangkan Allah tidak pernah mewajibkan yang demikian ! Artinya sebagaimana Allah swt. tidak pernah mewajibkan untuk mengikuti satu madzhab secara terus-menerus, begitu juga Allah tidak pernah mewajibkan untuk terus menerus pindah satu madzhab ke madzhab yang lain !
Al-Bani : Sesungguhnya yang haram itu ialah kalau seseorang mempunyai I’tikad (keyakinan) bahwa Allah memerintahkannya untuk terus-menerus menetapi madzhab tertentu.
Al-Bouti : Ini masalah lain dan itu memang benar, tidak ada perbedaan pendapat. Akan tetapi apakah ia berdosa kalau terus-menerus mengikuti imam tertentu sedangkan dia juga tahu bahwa Allah tidak pernah mewajibkan yang demikian kepadanya ?
Al-Bani : Kalau seperti itu tidaklah dia berdosa !
Al-Bouti: Tetapi buku Syeikh Khajandi yang anda pelajari itu menyebut- kan hal yang berbeda dengan apa yang anda katakan. Khajandi secara tegas mengharamkan yang demikian bahkan pada beberapa bagian dari buku itu ia menyatakan kafir kepada orang yang terus-menerus mengikuti seorang imam tertentu dan tidak mau pindah kepada yang lain !
Al-Bani : Mana…,? Selanjutnya ia berpikir tentang tulisan Syeikh Khajandi yang berbunyi : “Bahkan siapa saja yang mengikuti seorang imam secara terus-menerus dalam setiap masalah, maka dia termasuk orang fanatik yang salah serta telah taqlid secara membabi buta dan dialah orang yang telah mencerai-beraikan agama dan menjadikan diri mereka berkelompok-kelompok”. Lalu dia berkata bahwa yang dimaksud dengan mengikuti secara terus-menerus disitu adalah mengi’tikadkan wajibnya yang demikian dari sudut pandang agama. Didalam pernyataan itu terdapat pembuangan.
Al-Bouti: Apakah buktinya kalau Syeikh Khajandi itu bermaksud demikian? Mengapa anda tidak mengatakan bahwa Syeikh Khajandi itu telah melakukan kesalahan ?
(Terhadap pertanyaan Syeik Sa’id ini kelompok anti madzhab itu tetap bersikeras bahwa apa yang dikatakan Syeikh Khajandi itu benar karena didalam ucapannya itu terdapat pembuangan kalimat.)
Al-Bouti melanjutkan : Akan tetapi meskipun anda memperkirakan adanya pembuangan kalimat pada ucapan Syeikh Khajandi itu (yakni kalimat apabila dia mengi’tikadkan wajibnya mengikuti seorang imam secara terus menerus ) tetap saja ucapan tersebut tidak memiliki makna apa-apa karena setiap muslim mengetahui bahwa seorang imam tertentu dari keempat imam madzhab itu bukanlah termasuk kewajiban syari’at melainkan atas dasar pilihan orang itu sendiri.
Al-Bani: Bagaimana bisa demikian ? Saya mendengar dari banyak orang dan juga dari sebagian ahli ilmu bahwa diwajibkan secara syari’at mengikuti madzhab tertentu secara terus menerus dan tidak boleh berpindah kepada madzhab yang lain !
Al-Bouti : Coba anda sebutkan kepada kami nama satu orang saja dari kalangan awam atau ahli ilmu yan menyatakan demikian !(Terhadap permintaan Syeikh Sa’id ini kelompok anti madzhab itu terdiam sejenak. Ia heran kalau-kalau ucapan Syeikh Sa’id itu benar, dan dia [anti madzhab] pun mulai ragu-ragu tentang kebenaran atas pernyataannya sendiri yakni perkataan mereka bahwa sebagian besar manusia mengharam kan berpindah-pindah madzhab.).
Selanjutnya Al-Bouti mengatakan : Anda tidak akan menemukan satu orangpun yang beranggapan keliru seperti ini. Memang pernah diriwayatkan bahwa pada masa terakhir Dinasti Utsmaniyyah mereka keberatan kalau ada orang yang bermadzhab Hanafi pindah kemadzhab lain. Hal ini kalau memang benar adalah termasuk fanatik buta yang tercela.
Hanya Dua Kategori!
Al-Bouti :Dari mana Anda mengetahui perbedaan antara muqallid dan muttabi'?
Al-Bani:Perbedaannya ialah dari segi bahasa,
(Lalu Al-Buthi mengambil kitab-kitab bahasa agar Al-Albani dapat menetapkan perbedaan makna bahasa darl dua kalimat tersebut, tetapi la tidak menemul apa-apa. Al-Buthi kembali melanjutkan pembicaraan).
Al-Bouti :Sayyidina Abu Bakar RA pernah berkata kepada seorang Arab badwi yang menentang pajak dan perkataannya ini diakui segenap sahabat, "Apabila para muhajirin telah rela, hendaknya kalian menyepakatinya (mengikuti)."
Abu Bakar mengatakan taba'un (mengikuti), yang berarti muwafaqah (menyepakati).
Al-Bani: Kalau begitu, perbedaan makna kedua kata tersebut adalah dari segl istilah, dan bukan hak saya untuk membuat suatu Istilah.
Al-Bouti :Silakan saja Anda membuat istilah, tetapi Istilah yang Anda buat tetap tak akan mengubah hakikat sesuatu. Orang yang Anda sebut muttabi', kalau ia mengetahui dalil dan cara melakukan istinbath darinya, berarti ia seorang mujtahid. Tetapi apabila orang itu dalam suatu masalah tidak tahu dan tidak mampu ber-istinbath, berarti ia mujtahid dalam sebahagian masalah dan muqallid dalam masalah lain. Oleh karena itu, bagaimanapun juga pembahagian tingkatan seseorang hanya ada dua macam, mujtahid dan muqallid. Ini hukumnya sudah cukup jelas dan telah diketahui.
Al-Bani: Sesungguhnya muttabi' adalah orang yang mampu membedakan pendapat mujtahidin dan dalil-dalilnya, kemudian menguatkan salah satu daripadanya. Tingkatan ini berbeda dengan taqlld.
Al-Bouti : Kalau yang Anda maksudkan "membedakan pendapat para imam mujtahid ialah membedakan mana yang kuat dan mana yang lemah dari segi dalil, berarti tingkat ini adalah lebih tinggi dari ijtihad (lebih unggul darl Imam mujtahid). Apakah Anda mampu berbuat demikian?
Al-Bani:Saya akan melakukannya sejauh kemampuan saya.
(Kata-kata Al-Albani itu sesungguhnya secara tidak langsung menunjukkan bahwa la mempunyai kemampuan lebih tinggi dari para imam ijtihad, sebab ia mampu membedakan pendapat mujtahidin dan dalil-dalilnya, meski dengan catatan: "sejauh kemampuan saya". Al-Buthi rhencoba mengangkat contoh kasus yang akan menunjukkan kekeliruan cara pandang sepertl itu).
Talak Tiga: Contoh Kasus
Al-Bouti : Kami mendengar Anda telah berfatwa bahwa talak tiga yang dljatuhkan dalam satu kesempatan yang jatuh satu talak saja. Apakah sebelum menyampai-kan fatwa Anda talah meneliti pertdapat para Imam madzhab serta dalil-dalil me¬reka, kemudian Anda memilih salah satu dari pendapat mereka lalu baru Anda berfatwa?
Ketahullah bahwa Uwalmlr Al-ljlanl telah menjatuhkan talak tiga kepada istrinya di hadapan Rasulullah SAW. Se-telah ia bersumpah li’an dangan istrinya, ia barkata, "Saya jadi berbohong kepadanya, ya Rasulullah, blla saya menahannya, dan saya jatuhkan talak tiga." Bagaimana pengetahuan Anda tentang hadlts inl dan kedudukannya dalam masalah Ini, serta pengertianya menurut madzhab sebagian besar ulama dan menurut madzhab Ibnu Taimiyyah?
Al-Bani:Saya belum pernah melihat hadits Ini.
Al-Bouti : Bagaimana Anda bisa memfatwakan suatu masalah yang bertentangan dengan apa yang telah disepakati keempat imam madzhab, padahal Anda belum mengetahui dallil-dalil mereka, serta tingkatan kekuatan dalll-dalltnya? Kalau begitu Anda telah menlnggalkan prinsip yang Anda anut, yaitu ittiba', menurut istilah yang Anda katakan sendiri. (Ya, jawaban Al-Albani bertentangan dengan pemyataan awalnya sendiri, "Saya akan meneliti pendapat para imam mujtahid serta dalil-dalilnya, kemudian saya mengambil keterangan yang paling mendekati dalil Al-Qur'an dan sunnah." Berikutnya, la pun memberikan alasan akan hal itu).
Al-Bani:Pada waktu itu saya tidak memiliki kitab yang cukup untuk melihat dalil dari imam-imam madzhab.
Al-Bouti : Kalau begitu apa yang mendorong Anda tergesa-gesa memberi fatwa yang menyelisihi pendapat jumhur kaum muslimin padahal Anda belum memeriksa dalil-dalll mereka?
Al-Bani: Apa yang harus saya perbuat ketika saya ditanya mengenai masalah tersebut sedangkan kitab yang ada pada saya terbatas sekali?
Al-Bouti : Sesungguhnya cukup bagi Anda untuk mengatakan "Saya tidak tahu tertang masalah ini", atau Anda terangkan saja pendapat madzhab empat kepada si penanya serta pendapat mereka yang berbeda dengan madzhab empat imam harus memberlkan fatwa kepadanya dangan salah satu pendapat yang demikian ini sudah cukup untuk Anda dan memang sampai di situlah kewajlban anda. Apatah lagi masalah itu tidak langsung berkaitan dengan diri Anda mengapa bisa sampai Anda berfatwa dengan pendapat yang menyalahi Ijma' keempat imam tanpa mengetahui dalil-dalil yang dijadlkan hujjah oleh mereka, dengan Anda menganggap cukup pada dalil yang ada di plhak yang bertentangan dengan madzhab yang empat. Anda berada di puncak kefanatikan sebagaimana yang selalu Anda tuduhkan kepada kami.
Al-Bani: Saya telah menelaah pendapat ke-empat-empat imam dalam Subul as-Salam, karya Asy-Syaukani, dan Flqh as-Sunnah, karya Sayyid Sabiq.
Al-Bouti : Kitab yang Anda sebutkan adalah kitab yang memusuhi keempat imam madzhab dalam masalah ini. Apakah Anda rela menjatuhkan hukuman kepada salah seorang tertuduh hanya dengan mendengarkan keterangan saksi-saksi dan keluarganya tanpa mendengarkan keterangan lain dari tertuduh?
Al-Bani:Saya kira, apa yang telah saya lakukan tak patut dicela. Saya telah berfatwa kepada orang yang bertanya, dan itulah batas kemampuan pemahaman saya.
Al-Bouti : Anda telah menyatakan sebagai muttabi dan kita semua hendaknya menjadi muttabi'. Anda telah menafsirkan bahwa ittiba' ialah meneliti semua pendapat madzhab dan mempelajari dalil-dalil yang dikemukakan, ialu mengambil mana yang paling mendekati dalil yang benar. Namun apa yang telah Anda lakukan ternyata bertolak belakang.
Anda mengetahui, madzhab yang empat telah ijma’ bahwa talak yang dijatuhkan tiga sekaligus berarti jatuh tiga. Anda mengetahui bahwa keempat imam madzhab mempunyai dalil tentang masalah ini, hanya saja Anda belum mendapatinya. Namun demikian, Anda berpaling dari ijma' mereka dan mengambil pendapat yang sesuai dengan keinginan Anda. Apakah Anda sejak mula telah yakin bahwa dalil-dalil keempat imam madzhab ttu tidak dapat diterima?
Al-Bani:Tldak, cuma saya tidak mendapal nya karena saya tidak memiliki kitab-kitab tersebut.
Al-Bouti : Mengapa Anda tidak mau menunggu? Mengapa Anda tergesa-gesa pada-hal Allah SWT tidak memaksakan Anda untuk berbuat demikian? Apakah karena Anda tldak mendapati dalil-dalil -para ulama jumhur yang dapat digunakan sebagai alasan untuk menguatkan pendapat Ibnu Taimlyyah? Apakah fanatik yang Anda anggap dusta itu tidak lain ialah apa yang Anda telah lakukan?
Al-Bani:Pada kitab-kitab yang ada pada saya, saya telah mendapatkan dalil-dalil yang cukup memuaskan dan Allah tidak membebani saya lebih dari itu.
Al-Bouti : Apabila seorang muslim mendapati satu dalil dalam kitab yang dibacanya, apakah cukup dengan dalil tersebut ia meninggalkan semua mazhab yang berbeda dengan pemahamannya sekalipun ia belum mendapati dalil-daiil madzdzhab-madzhab tersebut?
Al-Bani: Ya, cukup.
Seorang Muallaf; sebuah analog
Al-Bouti :Ada seorang pemuda yang baru saja memeluk agama Islam, la sama sekali tak mengetahui pendldlkan agama Islam, Laiu ia membaca firman Allah 'Azza wa Jaffa, yang artinya, "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat; maka ke mana pun kamu menghadap, dsitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (Rahmat-Nya) lagi) Maha Mengetahui." QS Al-Baqarah 115. Pemuda tersebut lalu beranggapan bahwa setiap orang yang hendak shalat boleh menghadap ke arah mana saja sebagaimana dttunjukkan oleh zhahirnya redaksi ayat Al-Quran Itu.
Kemudian ia mendengar bahwa keempat imam madzhab telah bersepakat bahwa seorang yang shalat harus meng¬hadap Ka'bah. la sadar, para imam mempunyal dalil untuk masalah ini, hanya saja ia belum mendapatlnya. Apakah yang harus dilakukan oleh pemuda tersebut sewaktu la hendak mengerjakan shalat? Apakah cukup dengan menglkutl panggiian hatinya karena la telah menemukan ayat Al-Qur'an tersebut, atau ia harus menglkutl pendapat para imam yang berbeda dengan pemahamannya?
Al-Bani: Cukup dengan menglkuti panggilan hatinya.
Al-Bouti :Meskipun dengan menghadap ke arah tlmur misalnya? Apakah shalatnya dianggap sah?
Al-Bani:Ya, karena ia wajib menglkuti panggilan hatinya.
Al-Bouti :Andai kata panggilan hati pemuda itu mengilhaml dlrinya sehingga ia merasa tidak apa-apa berbuat zina dengan istri tetangganya, memenuhi perutnya dengan khamar dan merampas harta manusla tanpa hak, apakah Allah akan memberlkan syafa'at kepadanya lantaran panglllan hatinya itu?
(Terdiam sejenak, laiu berkata): Al-Bani: Sebenarnya contoh-contoh yang Tuan tanyakan hanyalah khayalan dan tidak ada buktinya.
Al-Bouti : Bukan khayalan atau dugaan semata-mata, bahkan selalu terjadl hal se-perti itu ataupun lebih aneh lagi.
Bagaimana tidak begitu, seorang pemuda yang tak punya kelayakan pengetahuan tentang Islam, Al-Qur’an dan sunnah, kemudian membaca sepotong ayat Al-Qur'an yang ia pahami menurut apa adanya. la kemudian berpendapat boleh saja shalat menghadap ke arah mana saja meskipun ia tahu bahwa shalat harus menghadap kiblat. Pada kasus Ini apakah Anda tetap berpendirian bahwa shalatnya sah karena manganggap cufcup dengan aclanya bisikan hati nurani atau panggilan jiwa si pemuda tersebut?
Di samping itu, menurut Anda, bisikan hati, panggiian jiwa, dan kepuasan moril dapat memutuskan segala urusan (dijadikan sumbar untuk mangeluarkan hukum). Kenyataan ini jeias bertantangan dengan prinsip Anda bahwa manusia terbagi atas tiga kelompok: mujtahid, muqallid, dan muttabi’ (karena dengan modal panggilan hati itu nyatanya semua manusia adalah muttabi’/mujtahld, termasuk si muallaf tadi).
Al-Bani:Semestinya pemuda itu membahas dan meneliti. Apakah ia tidak mambaca hadits atau ayat lainnya?
Al-Bouti :la tidak memiliki cukup bahan untuk mambahas sebagaimana halnya Anda ketika membahas ihwal masalah talak. ia tak sempat membaca ayat-ayat lain yang berhubungan dengan masalah kiblat selain di atas. Dalam hal ini apakah ia tetap harus mengikuti bisikan hatinya dengan meninggalkan ljma' para ulama?
Al-Bani:Memang seharusnya begitu kalau ia tidak mampu membahas dan menganalisis. Baginya cukuplah berpegang pada hasil pikirannya sendiri dan ia tidaklah salah.
(Pandangan ini jelas manyimpan potensi yang membahayakan. Itulah mengapa Ai-Buthi sampai menulis sebuah kitab berjudul Al-la Madzhabiyah Akhthar Bid'ah Tuhaddid asy-Sari'ah al-lslam-iyah - Paham tak Bermadzhab adalah Bid'ah Paling Barbahaya yang dapat Menghancurkan Syariat islam. Betapa tidak? Bayangkan saja, saandainya para muallaf atau orang-orang islam awam membuka lembaran-lembaran AI-Quran, lalu membaca Surah At-Tawbah ayat ke-5, yang artinya, "Bunuhlah mereka (orang-orang musyrik) di mana saja kamu menjumpai mereka", atau ayat-ayat yang redaksinya semacam Itu, lalu orang-orang tersebut tak mau bertanya kepada yang lebih paham tentang makna ayat tersebut dan serta merta bertekad bulat akan memenuhl panggiian hatinya untuk “menjalankan perintah Allah" ini, dapatkah Anda membayangkan apa yang akan terjadi?
Tak aneh bila banyak pengamat menllai bahwa embrio radikalisme acap bermula dari paham ala tekstualis seperti ini. Rupanya matoda pokok istinbath (penylmpulan) hukum salah satu tokoh pemuka al-la madzhabiyyah (non-mazhab) Ini adalah mengikuti panggiian hati. Dan cocoklah klranya bila klta menamai madzhab" ala Al-Albani Ini dangan madzhab panggiian hati”).
Al-Bouti :Ucapan Anda ini amat sangat berbahaya dan mengejutkan. Kami akan siarkan.
Al-Bani:Silakan Tuan menyiarkan pendapat saya dan saya tidak takut.
Al-Bouti :Bagalmana Anda akan takut kepada saya sedangkan Anda tldak takut kepada Allah SWT? Sesungguhnya dengan ucapan tersebut Anda telah membuang firman Allah SWT, yang artinya, "Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak mangetahuf - OS-An Nahi: 43.
Al-Bani: Tuan, para imam tidaklah ma’shum - terpelihara dari kesalahan. Bolehkah ia (si muallaf) meninggalkan yang ma'shum (Maksudnya nash-nash agama sepertl Al qur’an dan hadlts Rasulullah SAW) dan berpegang pada orang yang tidak ma'shum?
Al-Bouti :Yang terpelihara dari kesalahan adalah makna yang hakiki yang dikehendaki Allah Azza wa Jaila daiam firman-Nya, yang artinya, “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat" Akan tetapi pemahaman pemuda yang jauh sekali dari pendidikan Islam sama sekali tidak ma'shum?
jadi masalahnya ialah perbandingan antara dua pemahaman, yaitu pemahaman atau pemikiran seorang pemuda yang jahil dengan pemahaman atau pemikiran para Imam mujtahiddln, yang keduanya tidak ma'shum. Perbedaannya hanyalah yang satu terlalu jahil dan yang satu lagi sangat dalam ilmunya.
Al-Bani:Sesungguhnya Allah SWT tidak membebaninya melebihi kemampuannya.
Dokter don Brosur: Analog! Lainnya
Al-Bouti :Tolong Jawab pertanyaan ini. Sese orang mempunyai anak kecil yang sedang saklt panas. Menurut saran semua dokter yang ada di kota Itu, la harus diberi obat khusus dan mereka melarang orangtua ai anak untuk mengobatinya dengan antlbiotik. Mereka pun telah memberi tahu kepada orangtua si anak bahwa, sekiranya saran ini dilanggar, mungkin saja Itu menyebabkan kematian si anak, Suatu ketika si orangtua membaca selebaran brosur ks\esehatan dan manemukan keterangan bahwa antibiotik terkadang barmanfaat untuk mengobati saklt panas. Berdasarkan isi selebaran itu, orangtua tersebut tidak memperhatikan lagi saran dokter, Dengan panggilan hatinya, ia merawat anaknya dengan antibiotik hingga mangakibatkan kematian si anak, Dengan tindakan ini, apakah orangtua tersebut berdosa atau tidak?
Al-Bani: Saya kira, masalah itu lain dengan masalah ini dan maksudnya pun berbeda dengan persoalan yang sectang kita bicarakan.(Di sini tampaknya Al-Albani gagal menangkap analogi yang sederhana Ini. Lalu, bagalmana ia mampu membanding-kan hujjah-huijah para imam madzhab?)
Al-Bouti :Masalah ini pada hakikatnya sama dengan hat yang tengah kita bicarakan.
Coba Anda perhatikan. Orangtua tersebut sudah mendengarkan ijma (kesepakatan) para dokter, sebagaimana pe¬muda tadi juga telah mendengar ijma' para ulama. Akan tetapi lantaran tak tahu landasan dan teori-teori medis dunia kedokteran) orangtua itu bepegang pada brosur kesehatan yang ia baca dan hatinya kemudian condong padanya, sebagalmana pemuda tersebut melaksanakan panggilan hatinya.
Al-Bani:Tuan, Al-Quran adalah nur (cahaya). Nur AI-Qur'an tidak dapat disamakan dengan yang lain.
Al-Bouti :Apakah pantulan cahaya Al-Qur'an itu dapat dipahami oleh setiap yang membaca Al-Qur'an dengan pemahaman yang tepat sebagaimana yang dlkehendakl Allah SWT? Kalau begitu, apa bedanya antara ahli ilmu dan yang bukan ahli ilmu dalam menerima cahaya Al-Qur'an?
Al-Bani:Panggilan hati adalah yang paling asas/pokok,
Al-Bouti :Orangtua tersebut telah melaksanakan panggilan hatinya hingga menyebabkan kematian anaknya. Apakah ada pertanggungjawaban bagl orangtua itu baik dari sagi syari'at maupun tuntunan hukum?
Al-Bani:Dia tidak dituntut apa-apa.
Al-Bouti :Dengan pernyataan Anda seperti ini, saya kira diskusi ini kita cukupkan saja sampai di sinl. Sudah putus jalan untuk menemukan pendapat kami dengan Anda. Dengan Jawaban Anda yang sangat ganjil itu, cukuplah kiranya kalau Anda talah kaluar dari ijma' kaum muslimin.
(Demikian ucap Al-Buthl mengakhiri diskusinya dengan Al-Albani. Dari jawaban terakhir Al-Albani, tampaknya Al-Buthi telah menangkap sesuatu sehingga ia merasa tak perlu lagi memperpanjang pembicaraan).
Sumber: Majalah Alkisah
Kisah Tawasul Arab Badui
Assalamualaikum.
Banyak sekali kisah tawasul yang dilakukan para sahabat kepada Rasulullah SAW.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَّلَمُواْ أَنفُسَهُمْ جَآؤُوكَ فَاسْتَغْفَرُواْ اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُواْ اللّهَ تَوَّاباً رَّحِيماً
“Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Qs. An-Nisa`: 64)
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini yakni bahwa Allah memerintahkan orang yang berbuat maksiat dan berdosa untuk datang kepada Rasulullah SAW., memohon ampunan Allaw didepannya dan meminta Rasulullah untuk mengampuni dosa mereka. Jika mereka melakukanya, Allah akan menerima tobat mereka, memberi rahmat kepada mereka dan mengampuni kesalahan mereka sebab Allah berfirman "tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Tauabt lagi Maha Penyayang".
Abu Manshur Al Sabbagh dalam karyanya Al-Syamil mengutip hadits terkenal yang diriwayatkan Al-Utbi mengenai kisah seorang arab badui sebagai berikut:
“Suatu saat, aku pernah duduk di samping makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian datanglah seorang a’rabi (Arab badui) dan berkata, ‘Salam sejahtera atasmu, wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku mendengar Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yaitu, pada surat An-Nisa`: 64).”
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَّلَمُواْ أَنفُسَهُمْ جَآؤُوكَ فَاسْتَغْفَرُواْ اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُواْ اللّهَ تَوَّاباً رَّحِيماً
“Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Qs. An-Nisa`: 64)
Dan inilah Aku datang kepadamu memohon ampun karena dosaku dan memohon pertolonganmu kepada Rabb-ku.” Kemudian dia mengucapkan syair,
"Wahai yang terbaik diantara para penghuni kubur
Wahai kau, yang keharumanya membumbung luhur,
Menuju ketinggian dan menukil menyentuh kedalaman,
Mungkinkah aku jadi tebusan bagi makam yang kautinggali, yang didalamnya ada kemurnian, karunia dan kemurahan hati.
Orang badui itu lalu pergi. Kemudian aku tertidur dan bermimpi bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau berkata, “Wahai Utbi, kejarlah si arabi tadi. Sampaikan kabar gembira kepadanya bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengampuni dosanya.”
Inilah salah satu dalil dari hadis yang mulia. Hadis yang lain dikutip oleh para ahli hadis dari kalangan para imam, seperti Ibn Huzaimah dalam Shahih (yang setara dengan Shahih Muslim), al-Nasa'i dalam A'mal al-Yawm wa al-Laylahy al-Tirmidzi dalam Jami—seraya menyebutnya hadis hasan sahih garib, karena hanya diriwayatkan oleh Abu Ja'far Umair ibn Yazid al-Khutami al-Madani al-Bashri, yang menurut al-Nasa'i dan Ibn Ma'in dapat dipercaya. Bagaimanapun, fakta bahwa hadis itu hadis garib tidak menurunkan derajat kesahihannya. Ibn Majah juga meriwayatkan-nya dan mendukung Abu Ishaq (Ibn Rahawaih) yang menyebutnya sahih. Demikian pula al-Hakim dalam karyanya al-Mustadrak yang mengatakan, "Hadis itu sahih menurut kriteria al-Bukhari dan Muslim," dan al-Dzahabi mendukungnya: Dari Ustman ibn Hunaif yang tengah bersama Nabi saw. ketika seorang buta mendatanginya seraya mengeluhkan kebutaannya ... dst.
Inilah hadis sahih yang di dalamnya Nabi saw. dengan tegas memerintahkan orang-orang yang punya kebutuhan untuk ber-tawasul dan menyebut namanya meski ia tidak hadir di hadapan mereka—baik ketika beliau masih hidup maupun sesudah wafat-nya. Makna inilah yang diakui oleh para sahabat, sebab perintah Nabi saw. itu berlaku untuk seluruh kaum muslim di segala zaman selama tak ada petunjuk bahwa perintah itu hanya untuk segelintir orang tertentu. Bagaimana jika kemudian terdapat dalil yang bertentangan—yakni bahwa hadis itu memang berlaku untuk seseorang? Al-Tabrani meriwayatkan dalam Mu'jam al-Kabir dan Mu'jatn al-Shaghir bahwa seorang pria yang punya kebutuhan berusaha mendatangi Utsman sesering mungkin, dan seterusnya. Al-Tabrani mengatakan bahwa hadis itu sahih dan al-Baihaqi meriwayatkannya dalam Dalail al-Nubuwwah dengan sanad yang baik.
Sumber: Syafaat, Tawasul, dan Tabaruk : Syeikh Hisyam Al Kabbani
Banyak sekali kisah tawasul yang dilakukan para sahabat kepada Rasulullah SAW.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَّلَمُواْ أَنفُسَهُمْ جَآؤُوكَ فَاسْتَغْفَرُواْ اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُواْ اللّهَ تَوَّاباً رَّحِيماً
“Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Qs. An-Nisa`: 64)
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini yakni bahwa Allah memerintahkan orang yang berbuat maksiat dan berdosa untuk datang kepada Rasulullah SAW., memohon ampunan Allaw didepannya dan meminta Rasulullah untuk mengampuni dosa mereka. Jika mereka melakukanya, Allah akan menerima tobat mereka, memberi rahmat kepada mereka dan mengampuni kesalahan mereka sebab Allah berfirman "tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Tauabt lagi Maha Penyayang".
Abu Manshur Al Sabbagh dalam karyanya Al-Syamil mengutip hadits terkenal yang diriwayatkan Al-Utbi mengenai kisah seorang arab badui sebagai berikut:
“Suatu saat, aku pernah duduk di samping makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian datanglah seorang a’rabi (Arab badui) dan berkata, ‘Salam sejahtera atasmu, wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku mendengar Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yaitu, pada surat An-Nisa`: 64).”
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَّلَمُواْ أَنفُسَهُمْ جَآؤُوكَ فَاسْتَغْفَرُواْ اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُواْ اللّهَ تَوَّاباً رَّحِيماً
“Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Qs. An-Nisa`: 64)
Dan inilah Aku datang kepadamu memohon ampun karena dosaku dan memohon pertolonganmu kepada Rabb-ku.” Kemudian dia mengucapkan syair,
"Wahai yang terbaik diantara para penghuni kubur
Wahai kau, yang keharumanya membumbung luhur,
Menuju ketinggian dan menukil menyentuh kedalaman,
Mungkinkah aku jadi tebusan bagi makam yang kautinggali, yang didalamnya ada kemurnian, karunia dan kemurahan hati.
Orang badui itu lalu pergi. Kemudian aku tertidur dan bermimpi bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau berkata, “Wahai Utbi, kejarlah si arabi tadi. Sampaikan kabar gembira kepadanya bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengampuni dosanya.”
Inilah salah satu dalil dari hadis yang mulia. Hadis yang lain dikutip oleh para ahli hadis dari kalangan para imam, seperti Ibn Huzaimah dalam Shahih (yang setara dengan Shahih Muslim), al-Nasa'i dalam A'mal al-Yawm wa al-Laylahy al-Tirmidzi dalam Jami—seraya menyebutnya hadis hasan sahih garib, karena hanya diriwayatkan oleh Abu Ja'far Umair ibn Yazid al-Khutami al-Madani al-Bashri, yang menurut al-Nasa'i dan Ibn Ma'in dapat dipercaya. Bagaimanapun, fakta bahwa hadis itu hadis garib tidak menurunkan derajat kesahihannya. Ibn Majah juga meriwayatkan-nya dan mendukung Abu Ishaq (Ibn Rahawaih) yang menyebutnya sahih. Demikian pula al-Hakim dalam karyanya al-Mustadrak yang mengatakan, "Hadis itu sahih menurut kriteria al-Bukhari dan Muslim," dan al-Dzahabi mendukungnya: Dari Ustman ibn Hunaif yang tengah bersama Nabi saw. ketika seorang buta mendatanginya seraya mengeluhkan kebutaannya ... dst.
Inilah hadis sahih yang di dalamnya Nabi saw. dengan tegas memerintahkan orang-orang yang punya kebutuhan untuk ber-tawasul dan menyebut namanya meski ia tidak hadir di hadapan mereka—baik ketika beliau masih hidup maupun sesudah wafat-nya. Makna inilah yang diakui oleh para sahabat, sebab perintah Nabi saw. itu berlaku untuk seluruh kaum muslim di segala zaman selama tak ada petunjuk bahwa perintah itu hanya untuk segelintir orang tertentu. Bagaimana jika kemudian terdapat dalil yang bertentangan—yakni bahwa hadis itu memang berlaku untuk seseorang? Al-Tabrani meriwayatkan dalam Mu'jam al-Kabir dan Mu'jatn al-Shaghir bahwa seorang pria yang punya kebutuhan berusaha mendatangi Utsman sesering mungkin, dan seterusnya. Al-Tabrani mengatakan bahwa hadis itu sahih dan al-Baihaqi meriwayatkannya dalam Dalail al-Nubuwwah dengan sanad yang baik.
Sumber: Syafaat, Tawasul, dan Tabaruk : Syeikh Hisyam Al Kabbani
Hadits Arba'in (20)
HADITS KEDUAPULUH
Terjemah hadits:Dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amr Al Anshary Al Badry radhiallahuanhu dia berkata, Rasulullah shallallahuàlaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya ungkapan yang telah dikenal orang-orang dari ucapan nabi-nabi terdahulu adalah: Jika engkau tidak malu perbuatlah apa yang engkau suka. (Riwayat Bukhari).
Kandungan Hadist :
1. Malu merupakan tema yang telah disepakati oleh para nabi dan tidak terhapus ajarannya.
2. Jika seseorang telah meninggalkan rasa malu, maka jangan harap lagi (kebaikan) darinya sedikitpun.
3. Malu merupakan landasan akhlak mulia dan selalu bermuara kepada kebaikan. Siapa yang banyak malunya lebih banyak kebaikannya, dan siapa yang sedikit rasa malunya semakin sedikit kebaikannya.
4. Rasa malu merupakan prilaku dan dapat dibentuk. Maka setiap orang yang memiliki tanggung jawab hendaknya memperhatikan bimbingan terhadap mereka yang menjadi tanggung jawabnya.
5. Tidak ada rasa malu dalam mengajarkan hukum- hukum agama serta menuntut ilmu dan kebenaran. Allah ta’ala berfirman: “ Dan Allah tidak malu dari kebenaran “ (33 : 53).
6. Di antara manfaat rasa malu adalah ‘Iffah (menjaga diri dari perbuatan tercela) dan Wafa’ (menepati janji).
7. Rasa malu merupakan cabang iman yang wajib diwujudkan.
Malu, Ajaran Para Nabi Yang Tak Pernah Sirna
Ajaran para nabi, sejak nabi pertama hingga nabi terakhir, ada yang sudah sirna dan ada yang tidak. Di antara ajaran yang tidak pernah sirna adalah rasa malu. Hal ini menunjukkan bahwa rasa malu memiliki kedudukan yang sangat tinggi di dalam agama. Oleh karena itu harus mendapat perhatian yang mendalam.
Jika Tak Punya Rasa Malu Berbuatlah Sesukamu!
Ulama berbeda pendapat dalam memahami sabda Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam: “berbuatlah sesukamu”, sebagian memahami sebagai perintah dan sebagian yang lain memahami bukan sebagai perintah. Ulama yang memahami sebagai perintah, menjelaskan bahwa jika sesuatu yang hendak diperbuat tidak mendatangkan rasa malu maka lakukanlah sesuai dengan yang diinginkan. Dan ulama yang memahami bukan sebagai perintah, ada dua penjelasan yaitu:
Maknanya sebagai ancaman. Ancaman bagi yang tidak memiliki rasa malu yang berbuat memperturutkan hawa nafsunya.
Maknanya sebagai berita. Memberitakan barang siapa yang tidak memiliki rasa malu pasti akan berbuat sesuka hatinya.
Semua pendapat di atas memiliki kemungkinan benar.
Langganan:
Postingan (Atom)